Pak Embah menasehati cucu-cucunya. (sumber: dokumen pribadi)
Foto yang menyertai tulisan ini saya ambil tanggal 7 Januari 2021. Sesaat setelah kami memakamkan almarhum Abi. Orang tua di foto itu adalah Pak Embah, bapak mertua saya, ayah Abi. Semua cucunya memanggilnya demikian. Anehnya, untuk nenek mereka tetap memanggil Ma’e, seperti halnya kami yang memanggilnya begitu. Entahlah mengapa mereka nggak memanggilnya Mak Embah.
Masjid Agung di kota Samarra, Irak (sumber: wikipedia.org)
Appointment in Samarra adalah sebuah cerita pendek yang dikisahkan kembali oleh W. Somerset Maugham (1933). Saya mendengarnya dari dosen saya, Prof. Budi Darma. Saat itu status saya sebagai mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya. Kisah ini juga menjadi epigraf novel dengan judul sama yang ditulis oleh John O’ Hara (1934). Kutipan aslinya sebagai berikut.
There was a merchant in Bagdad who sent his servant to market to buy provisions and in a little while the servant came back, white and trembling, and said, Master, just now when I was in the marketplace I was jostled by a woman in the crowd and when I turned I saw it was Death that jostled me. She looked at me and made a threatening gesture, now, lend me your horse, and I will ride away from this city and avoid my fate. I will go to Samarra and there Death will not find me. The merchant lent him his horse, and the servant mounted it, and he dug his spurs in its flanks and as fast as the horse could gallop he went. Then the merchant went down to the marketplace and he saw me standing in the crowd and he came to me and said, Why did you make a threating getsture to my servant when you saw him this morning? That was not a threatening gesture, I said, it was only a start of surprise. I was astonished to see him in Bagdad, for I had an appointment with him tonight in Samarra.Continue reading “Appointment in Samarra”
Buku Kesayangan Abi, Biografi Rhoma Irama (dokumen pribadi)
Cuma kamu sayangku di dunia ini
Cuma kamu cintaku di dunia ini
Tanpa kamu sunyi kurasa dunia ini
Tanpa kamu hampa kurasa dunia ini
Bagi pecinta musik dangdut pasti ingat cuilan lagu di atas. Versi asli lagu itu dinyanyikan duet Rhoma Irama dan Rita Sugiarto. Lagu tersebut merupakan salah satu lagu dalam album Soneta Volume 4 berjudul Darah Muda yang dirilis tahun 1975. Darah Muda ini akhirnya diangkat menjadi film dengan pemeran utama bang Haji bersama Yati Oktavia pada tahun 1977.
Almarhum Abi adalah pecinta musik dangdut dan rock. Selain dua penyanyi legendaris di atas, Abi sangat suka dengan Nicky Astria. Katanya, suara Nicky Astria itu sangat powerful. Vokal rangenya menembus 4 oktaf. Kalau yang barat Abi sangat suka Roxette, Bon Jovi . Pokoknya yang suaranya powerful. Rita Sugiarto juga memiliki itu. Makanya, Abi sangat suka dengannya.
Saya sebaliknya. Nggak suka dangdut sampai saya ketemu Abi. Selera musik kami benar-benar berbeda. Saya lebih suka jazz, bosas. Penyanyi favorit saya Ermy Kulit, Rafika Duri. Kalau yang barat saya suka Louis Amstrong, Nat King Cole. Nah, itu Abi nggak kenal sama sekali. Continue reading “Cuma Kamu”
Foto jadul almarhum Abi (berbaju merah) bersama sebagian sahabatnya di masa kuliah semester pertama. (sumber: dok.pri)
Apa arti sahabat bagimu kawan?
Bagi saya, sahabat adalah ketika kita butuh bantuan kita nggak sungkan minta tolong. Seperti yang saya lakukan saat almarhum Abi masuk ICU. Saya sudah kehabisan termos untuk mengirim air hangat. Termos-termos itu nggak bisa saya ambil. Untuk membeli tentu butuh waktu sementara dia membutuhkan saat itu juga. Segera saya hubungi sahabat saya yang bisa mengirim air hangat dalam waktu cepat. Alhamdulilah… dia segera merespon dengan tanggap.
Seperti saat saya membutuhkan dukungan moril untuk Abi. Saya hubungi beberapa nomor sahabatnya dari masa lalu maupun masa kini. Teman kuliah, teman kerja, teman nongkrong, teman masjid. Dengan cepat mereka hadir dalam sapaan sehangat mentari pagi serta rangkaian doa tak bertepi. Sungguh. Benar-benar tak bertepi. Saya membaca chat mereka di HP Abi pasca beliau wafat. Continue reading “Sahabat”
Dalam bukunya Citizen 4.0, Hermawan Kertajaya menulis tentang pergeseran masyarakat dunia yang semakin horisontal. Tidak memperhitungkan bangsa, suku, agama, dan berbagai latar belakang lainnya. Yang terpenting adalah sumbangan kita kepada orang lain dan bagaimana menjadi ”citizen of the world”. Dengan konektivitas tinggi seperti sekarang ini, kita menjadi manusia dengan spirit yang lebih terbuka untuk bekerja sama, berinteraksi, dan saling menukar ide untuk mewujudkan satu aksi bersama.
Ibu-ibu di perumahan saya barangkali belum membaca buku setebal 420 halaman tersebut namun mereka telah mempraktikkannya. Saya saksi hidupnya. Ibu-ibu ini membentuk kelompok sukarelawan yang mensuplai kebutuhan logistik kami ketika harus menjalani isolasi mandiri. Supporting Group B2. Sesuai namanya, mereka mensupport kami. B2 adalah nama blok tempat kami tinggal, di Jaya Maspion Permata Sidoarjo. Continue reading “Supporting Group B2”
“Abi…. aku lolos…, “ seru saya ketika kebetulan saya lolos dalam sebuah kompetisi atau memenangkan sebuah lomba. Saya menghambur dalam pelukannya. Ia merapatkannya. Sekecup ciuman mendarat di kening saya.
“Umik hebat!!!” katanya. Segera ia banggakan saya di depan putra-putri kami. “Umikmu hebat!” serunya dengan mata berbinar-binar.
Dan saya selalu menjawab begini,
“Umik bisa lolos di lomba ini karena dukungan Abi. Kalau Abi nggak support, nggak mungkin Umik bisa seperti ini.”
Pak Sugeng dan koleganya sang pendonor Plasma Konvalensen (sumber: dok.sugeng)
Kalau saya ditanya foto apa yang paling membuatmu bahagia, saya akan menjawab foto itu. Tidak hanya perasaan bahagia tetapi super duper bahagia. Yang depan tanpa kaca mata itu namanya Pak Sugeng. Beliau sahabat kami ketika kuliah di IKIP Surabaya. Dua lelaki lainnya adalah kolega Pak Sugeng. Mereka bertiga meluncur dari Mojokerto segera setelah saya membagi informasi dibutuhkannya donor plasma konvalensen untuk Abi.
Terapi Plasma Konvalense viral saat Pak Ganjar Purnomo, Gubernur Jawa Tengah mengunggah himbauan rekannya untuk mengkampanyekan sedekah darah. Menurutnya, ada testimoni penyintas Covid-19 yang mengalami perubahan kondisi tubuh semakin membaik setelah melakukan terapi tersebut. Continue reading “Plasma Konvalensen”
Secangkir kopi Subuh yang tinggal kenangan (Dok.pri)
Ingin dikenang seperti apa Anda jika kelak tiada?
Saya mengenang almarhum suami dalam secangkir kopi Subuh. Setiap Subuh seperti ini biasanya beliau pulang dari masjid bersama anak laki-lakinya. Sementara kami – yang perempuan salat Subuh di rumah. Begitu sampai di rumah, saya akan menyambutnya dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas. Menguarkan tajam aroma Arabika. Biasanya kopi itu ditemani dengan pisang goreng. Abi tidak pernah bosan dengan pisang goreng. Syaratnya satu, pisang kepok yang tidak terlalu matang.
Ini berbeda selera dengan saya. Saya lebih menyukai pisang kepok itu dikukus. Saat diturunkan dari panci pengukus, pisang yang masih panas itu saya kupas. Saya tusuk dengan garpu dan dinikmati panas-panas. Maknyuss… . Itu menurut saya. Menurut Abi, saya kurang alami. Pakai tangan, Mi. Biar bisa merasakan derajat panas pisang itu. Heeemm… Continue reading “Secangkir Kopi Subuh”
Saya sering mendengar kalimat yang saya jadikan judul tulisan ini. Menulis itu menyembuhkan. Saya juga pernah bertemu seseorang yang mengamalkan terapi ini. Seorang guru penulis yang tetap eksis di usia senjanya. Saya bertemu dengannya di sebuah pelatihan menulis. Padahal, beliau baru saja pasang ring di jantungnya. Menurutnya, menulis itu menyembuhkan.
Sahabat pembaca pasti pernah menonton film Habibie dan Ainun. Film produksi tahun 2012 itu dibintangi oleh Reza Rahardian sebagai Habibie dan Bunga Citra Lestari sebagai Ainun. Film itu kabarnya sangat sukses meraup penonton. Tidak kurang dari 4,7 juta penonton menyaksikan romansa mantan Presiden RI ke-3 tersebut. Film Habibie dan Ainun tersebut diangkat dari memoar yang ditulis oleh almarhum Habibie dengan judul sama. Beliau menulis buku itu atas saran seorang dokter untuk menyembuhkan diri dari depresi kehilangan istri yang sangat dicintainya. Continue reading “Writing is Healing”
Hari ini seharusnya Salman (putra ketiga saya) kembali ke pondok setelah liburan selama kurang lebih dua pekan. Sebagai persyaratan, pondok meminta santri mengumpulkan hasil negatif tes swab PCR. Persyaratan tersebut sangat beralasan mengingat perkembangan Covid yang kian merajalela.
Senin, 20 Desember 2020 Salman tes swab bersama suami. Kebetulan suami dari luar kota juga sehingga mereka berdua tes di Labkesda Surabaya. Saya pulang kerja agak siang pada hari Senin tersebut karena harus mengikuti Webinar Kurikulum Magang yang diselenggarakan oleh ABhome Bogor. Webinar tersebut dilaksanakan mulai Asar sampai Maghrib sehingga saya merasa nyaman jika nge-Zoom di rumah. Continue reading “Covid Sampai juga di Sini”