Coaching dan Pendidikan yang Berpihak pada Murid

Dulu saya beranggapan bahwa coaching itu hanya ada di dunia olah raga. Kata itu mengacu pada pelatih. Coach Christian Hadinata misalnya. Pelatih bulu tangkis kenamaan yang mampu mengantarkan Indonesia meraih Piala Thomas 1998 dan dua emas di ajang olimpiade.

Seiring perjalanan waktu, coaching berevolusi merambah ke berbagai bidang. Sebut misalnya leadership, pengembangan diri, bisnis, dan karir. Eits, tunggu dulu. Ternyata saya juga pernah  dipanggil coach saat memberikan pelatihan menulis amatiran pada emak-emak. Kalau ingat itu saya jadi tersenyum sendiri.

Tapi memang benar. Coach dibutuhkan dalam berbagai bidang. Tak terkecuali bidang pendidikan. Anak-anak butuh coaching agar melejitkan potensi yang ada dalam diri mereka, agar mereka mampu menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dengan cara mereka sendiri. Guru hanya membantu mengulik kompetensi mereka yang tersembunyi. Dengan demikian, anak bisa mengoptimalkan potensi untuk mencapai kesuksesan. Menjadi well-being students.

Tak heran jika dalam sebuah  forum berbagi inspirasi TedTalk, Bill Gates berkata, “ Everyone needs a Coach. It doesn’t matter whether you’re a basketball player, a tennis player, a gymnast or a bridge player. We all need people who will give us feedback, that’s how we improve.”

Setiap orang membutuhkan coach, orang yang memberi masukan yang akan membuat hidupnya menjadi lebih baik. Hal ini tentu saja sesuai dengan definisi coaching itu sendiri. International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.

Dengan bahasa sederhana bisa dikatakan coaching membantu coachee menemukan hal-hal positif dalam dirinya dan mengembangkannya sehingga menjadi pribadi yang lebih baik. Kalau kita seorang guru tentu coachee kita adalah murid. Hal ini senada dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.  Apalagi setiap murid itu unik sehingga mereka berhak mendapat layanan pendidikan yang sesuai dengan minatnya, tingkat kesiapan, dan profil belajarnya. Di sinilah pendidikan berdiferensiasi mendapat tempatnya.

Selain murid, bisa jadi coachee kita adalah guru atau rekan sejawat. Rekan-rekan guru adalah teman seperjuangan. Namanya berjuang tentu ada masa-masa menyenangkan atau sebaliknya. Perjalanan tidak selalu mulus, bukan. Guru dituntut paham betul tidak saja konten-konten akademik tetapi juga sisi-sisi sosial emosional agar mampu menumbuhkan karakter unggul murid. Tidak saja cerdas secara akademik tetapi juga santun secara moral sehingga mereka menjadi well-being students. Nah, guru-guru ini pun butuh coach untuk mendapatkan feed back agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar berdampak pada murid sehingga pendidikan benar-benar berpihak pada murid.

Pertanyaannya, bisakah guru menjadi coach?

Sangat bisa. Coaching adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Dunia guru sangat dekat dengan dunia belajar maka tidak ada alasan bagi guru untuk tidak bisa menjadi coach. Belajar untuk kemudian menerapkannya dalam dunia nyata. Intinya, tidak berhenti pada tataran teori tapi dipraktikkan. Bahasa kerennya sih experiental learning, pembelajaran berbasis pengalaman. Seperti yang sedang dilakukan di Pendidikan Guru Penggerak. Guru belajar kemudian mempraktikkannya di lapangan, mengevaluasinya sedemikian rupa. Yang bagus ditingkatkan,  yang kurang dicarikan solusinya. Begitu siklusnya. Semakin sering berlatih, semakin terampil tentunya.

Keterampilan berkomunikasi menjadi hal yang penting dalam coaching. Bagaimana seorang coach menanyakan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mampu menggugah coachee untuk menemukan potensi diri yang terpendam dan mengembangkan potensi diri tersebut sebaik-baiknya. Inilah komunikasi yang memberdayakan-empowering communication.

Komunikasi asertif, mendengar aktif, bertanya efektif, dan memberikan umpan balik positif adalah beberapa contoh komunikasi yang memberdayakan. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dibangun atas dasar percaya dan hormat. Bagaimana cara kita menyampaikan pesan kepada coachee dengan baik agar semua kepentingan terwadahi. Tidak agresif tapi juga tidak submisif. Intinya, bagaimana cara kita mencapai pemahaman bersama atas sebuah masalah. Mencapai sebuah keselarasan.

Mendengar aktif adalah kemampuan kita untuk mendengarkan lawan bicara kita dengan kesadaran penuh. Itulah mengapa seorang coach lebih banyak mendengar daripada berbicara. Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut sepertinya juga untuk kepentingan seperti ini. Lebih banyak mendengar orang lain agar muncul lebih banyak empati, lebih banyak menangkap pesan yang disampaikan.

Bertanya efektif sangat dibutuhkan dalam coaching karena akan membantu coachee menggali potensi dirinya. Tentunya pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan bukan pertanyaan tertutup melainkan pertanyaan yang mampu menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan ide dan gagasan yang mungkin belum pernah terpikirkan sebelumnya, dan menghadirkan emosi atau nilai-nilai positif dalam diri sehingga memampukan coachee mengembangkan diri lebih optimal lagi.

Keterampilan yang tidak kalah pentingnya dalam coaching adalah memberi umpan balik positif.  Umpan balik ini sangat dibutuhkan oleh coachee untuk membangun potensi yang dimilikinya, menumbuhkan rasa percaya diri dan memotivasinya untuk menjadi lebih baik lagi. Umpan balik positif ini harus diberikan langsung pada saat coaching, bentuknya harus spesifik-fokus pada hal yang dituju. Tak lupa coach harus menyertakan perasaan sepenuhnya saat memberikan umpan balik positif ini.

Coaching Model TIRTA

Coaching model TIRTA diadopsi dari Grow Model yang sudah banyak dikenal. GROW adalah kependekan dari Goal, Reality, Option, dan Will. Jadi, dalam sebuah sesi coaching harus ada goal atau tujuan yang ingin dicapai, reality (kenyataan yang terjadi pada diri coachee), option (pilihan-pilihan solusi yang muncul selama sesi coaching, dan will (keinginan untuk selalu bergerak menjadi lebih baik).

TIRTA sendiri adalah akronim dari Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, dan Tanggung Jawab. Senada dengan Grow di atas, dalam coaching model TIRTA juga dimulai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh coachee. Kemudian mengidentifikasi fakta-fakta yang terjadi dan dirasakan oleh coachee. Lalu, dari identifikasi ini muncullah rencana aksi yang dipikirkan coachee dan ditutup dengan komitmen yang merupakan bentuk tanggung jawab seorang coachee. Yang menjadi catatan adalah coach hanya membantu coachee mengeluarkan semua potensinya sehingga baik itu tujuan, identifikasi, rencana aksi dan komitmen semua berasal dari coachee. Keputusan terakhir ada di tangan coachee.

Mempraktikkan coaching model TIRTA ini tidak semudah membaca teorinya. Saya mencoba melakukan eksperimen terhadap 6 anak yang saya pilih secara random di kelas-kelas yang saya ajar. Ada yang saya harus menyerah karena tidak mampu mengulik apa yang sedang dihadapi coachee. Murid yang satu ini sangat pendiam. Sepanjang sesi coaching dia hanya diam, matanya menatap langit-langit. Saya pun kehabisan gaya. Hehehe…

Ada yang saya tidak bisa menikmati suasana coaching-nya karena terkendala jaringan. Sedang enak-enaknya mencoba mengidentifikasi hal-hal terkait coachee, internetnya nge-lag. Berkali-kali saya minta coachee mengulang pada beberapa bagian hingga akhirnya saya putuskan saya tidak berhasil.

Ada lagi yang saya terpaksa banting setir menjadi konselor karena murid ini ternyata memiliki masalah yang berat. Saya mengenalnya sebagai sosok yang sangat ceria dan cukup famous namun ternyata saya menemukan sisi lain dirinya yang rapuh. Dia tidak mampu menahan tangisnya dan tidak mampu berpikir jernih apa yang harus dilakukan. Saya harus memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapinya.

Video yang menyertai tulisan ini contoh coaching model TIRTA yang saya lakukan.  Dari keenam proses eksperimen coaching, video ini yang lebih mendekati ideal. Masih amatiran sih karena baru belajar namun saya yakin suatu saat saya akan mampu melakukannya lebih baik lagi.  Coaching membantu murid menemukan potensi dirinya dan mengembangkan diri menjadi lebih baik.

 

Sidoarjo, 5 September 2021

 

Pendidikan Sosial Emosional untuk Mewujudkan Well being Students

Koneksi Antar Materi Modul 2.2. dengan modul lainnya

Dalam sebuah grup WA yang saya ikuti pernah saya temukan perdebatan sesama guru terkait mutu pendidikan di masa pandemi seperti ini. Guru A ini menanyakan mutu akhlak, budi pekerti atau karakter. Menurutnya, kalau mutu akademik mungkin masih bisa diperhitungkan, tetapi budi pekerti, karakter apa bisa ditumbuhkan dalam kondisi Pembelajaran Jarak Jauh seperti saat ini?

Guru B bersikukuh bahwa kondisi PJJ pun kita bisa menumbuhkan karakter. Tergantung bagaimana guru mengelola pembelajaran yang diampunya.
Menurut saya, pendapat guru A tidak salah. Dalam pembelajaran normal, guru bisa mengawal penuh semua bentuk pembiasaan yang diprogramkan sekolah. Senyum, salam, sopan, santun, salat duha, berinfaq, dan semua praktik baik yang ada. Dengan belajar daring tentunya ada yang tereduksi. Mau tidak mau kita harus mengakui itu. Tetapi kalau lantas menafikkan bahwa PJJ tidak mendorong tumbuhnya pendidikan karakter saya juga kurang setuju. Saya setuju dengan guru B meski PJJ kita masih bisa menyuntikkan karakter dalam pembelajaran meski tidak sekuat ketika pembelajaran offline.

Untunglah saya mengikuti Pendidikan Guru Penggerak ini. Di modul 2.2. kami berkenalan dengan Pendidikan Sosial Emosional (PSE) yang merupakan adaptasi dari Collaborative for Academic Social Emotional Learning (CASEL). Pembelajaran yang mengintegrasikan kompetensi sosial emosional.
Kompetensi ini sangat dibutuhkan agar survive dalam kehidupan. Anak sukses bukan hanya secara akademik
an sich tetapi juga mempunyai karakter yang baik yang menjadi modal dalam kehidupan bermasyarakat. Cerdas secara akademik dan santun secara moral.

5 Core Values
Di dalam PSE ini, anak akan diajari kompetensi sosial emosional yang mencakup lima nilai inti yaitu kesadaran diri (self-awareness), pengelolaan diri (self-management), kesadaran sosial (social awareness), keterampilan relasi (relationship skills), dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (responsible decision making).

Mengenali diri, menyadari diri adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Ada emosi-emosi dasar yang harus dikenali anak agar tidak salah dalam melangkah. Mengenalkan anak dengan emosi-emosi dasar seperti senang, sedih, marah, kaget, dan sebagainya akan memudahkannya dalam mengelola perasaan yang sedang dialaminya. Mereka harus bisa
membedakan apa itu sedih dan khawatir misalnya.
Proses kesadaran ini akan membantu anak dalam mengelola dirinya. Kapan ia harus marah dan apa yang harus dilakukan saat marah contohnya.

Dalam PSE dikenalkan teknik STOP ketika menghadapi kondisi tertentu. Tidak hanya marah saja tetapi semua kondisi yang membutuhkan atmosfir ketenangan. STOP merupakan singkatan dari Stop (berhenti dari semua kegiatan), Take a deep breath (ambil napas dalam-dalam), Observe (perhatikan, rasakan semua yang ada), dan Proceed (lanjutkan).

Setelah sadar diri, trampil dalam mengelola diri maka kompetensi yang diajarkan meningkat menjadi sadar sosial. Bagaimana anak diajarkan untuk memiliki rasa empati yang tinggi terhadap sesama, orang-orang di sekitarnya. Orang dikatakan sukses bukan karena ia sukses dengan dirinya sendiri
melainkan seberapa besar kebermanfaatannya bagi orang lain.

Sebagai makhluk sosial, manusia harus menjalin hubungan dengan orang lain. Karenanya dibutuhkan keterampilan relasi (relationship skill). Keterampilan ini sangat dibutuhkan karena tidak selamanya anak menghadapi jalan yang mulus. Apa yang sudah direncanakan dengan sangat matang bisa jadi
tidak sesuai dengan kenyataan. Di sinilah dibutuhkan relisiensi (daya lenting), daya juang, ketangguhan dalam menghadapi masalah.

Contoh sederhana ketika mengikuti lomba. Segala persiapan sudah dilakukan, saat lomba sudah merasa melakukan yang terbaik. Nah, ketika diumumkan ternyata tidak menjadi pemenang. Nah, kalau anak tidak tangguh apa yang terjadi? Tentu ia merasa dunia ini sudah berakhir. Namun ketika
anak tersebut mempunya reliensi yang tinggi maka ia akan menerima bahwa kekalahan bisa  menjadi pelajaran untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Ada tiga sumber yang bisa digunakan untuk menjadi pribadi dengan daya lenting tinggi yaitu I have, I am, dan I can. I have berkaitan dengan apa yang kita miliki termasuk di dalamnya adalah dukungan sosial dari sekitar. Seorang anak akan punya dukungan dari orang tua, guru, peer group, dan sebagainya. I am adalah sumber ketangguhan dalam diri sendiri. Bisa dalam bentuk perasaan, sikap, dan keyakinan diri. I can adalah sumber relisiensi yang berupa usaha yang bisa dilakukan seseorang. Segala bentuk kemampuan yang dimiliki seseorang yang mampu digunakan sebagai bekal dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kemampuan bersosialisasi, berkomunikasi, melakukan persuasi dan sebagainya.

Salah satu kemampuan penting yang harus dipunyai anak adalah kemampuan mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Hal ini tidak mudah tetapi bukan berarti tidak bisa dikuasai. Tugas kitalah sebagai guru harus memberikan bekal keterampilan ini kepada anak. Strategi yang bisa kita ajarkan dalam mengambil keputusan yang bertanggung jawab adalah POOCH. Problem (Masalah), Options (alternatif pilihan), Outcomes (hasil atau konsekuensi), Choices (keputusan yang diambil), dan How (bagaimana hasilnya). Strategi ini perlu kita ajarkan agar anak-anak mampu menjadi pengambil keputusan yang bertanggung jawab sejak dini.

Kelima kompetensi ini bisa diajarkan dalam tiga strategi yaitu kegiatan rutin di luar pembelajaran, terintegrasi dalam pembelajaran, dan protokol (tata tertib). Harapannya, anak-anak tumbuh menjadi generasi cerdas dengan keterampilan sosial emosional yang baik sehingga mereka akan menjadi well being students.

Koneksi Antar Materi
Modul 2.2 (PSE) ini tentu saja tidak terpisahkan dengan modul-modul sebelumnya. Saling terkait. Saling berkelindan. Dengan modul 2.1 (Pembelajaran Berdiferensiasi) contohnya. PSE bisa diterapkan
dalam pembelajaran sehari-hari baik pembelajaran yang dilakukan itu berdiferensiasi konten, proses, maupun produk. PSE semakin menguatkan pondasi pembelajaran berdiferensiasi yang dilakukan guru. Selain terintegrasi dalam pembelajaran, PSE juga bisa diterapkan dalam kegiatan rutin yang dilakukan sekolah dan protokoler.

Kaitan modul 2.2 ini dengan modul 1.4 (Budaya Positif) sangat erat sekali. Praktik-praktik baik yang sudah menjadi budaya positif sekolah mengakar pada kompetensi sosial emosional yang ada. Karakter-karakter baik seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab sesungguhnya telah menjadi bagian
penting dalam PSE.

Sementara itu, kaitan modul 2.2 ini dengan modul 1.3 (Visi Guru Penggerak) adalah bagaimana mewujudkan visi murid yang well being dengan melibatkan semua kekuatan positif yang ada di sekolah. Murid yang tidak hanya pandai secara akademik tetapi juga memiliki 5 kompetensi inti PSE yaitu self awareness, self management, social awareness, relationship skill, dan responsible decision making. Kita bisa melakukan BAGJA dalam menganalisis kebutuhan tersebut dengan mengakomodir kekuatan positif yang ada di sekolah.


Kaitan modul 2.2 dengan modul 1.2 (Nilai dan Peran Guru Penggerak) adalah PSE digunakan sebagai bekal bagi guru dalam memperkuat nilai guru penggerak seperti mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan berpihak pada murid. Pun akan memperkuat perannya sebagai pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antarguru, dan menggerakkan kepemimpinan murid. Kalau guru sudah menguasai PSE dengan baik akan mudah baginya menyalurkan kelima kompetensi sosial emosional pada siswa yang diajarnya. Guru sebagai role model yang selalu menjadi panutan siswa.


Terakhir, kaitan modul 2.2 dengan modul 1.1 (Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara) adalah PSE memberikan bekal yang cukup bagi guru untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Bagi siswa sendiri, kelima kompetensi sosial emosional yang diajarkan guru akan menjadi bekal bagi mereka dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila.
Selanjutnya, karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif, yang ada dalam profil pelajar Pancasila tersebut akan menjadi bekal mereka dalam hidup bermasyarakat kelak ketika dewasa. Mereka akan menjadi pribadi yang tenang—tidak grusa grusu-, mempunyai daya empati dan reliensi yang tinggi, serta menjadi para pengambil keputusan yang bertanggung jawab.
Semoga.

 

Sidoarjo, 11 Agustus 2021

Berbagi Aksi Nyata

Tampilan Berbagi Aksi Nyata di LMS Pendidikan Guru Penggerak

Kegiatan saya agak longgar hari ini. Setelah menyelesaikan raker Tim Pengembang SMP Al Hikmah Surabaya kemarin saya masih harus menyelesaikan beberapa hal terkait kelas internasional. Tahun ini sekolah saya membuka layanan kelas internasional sebagai jawaban atas kodrat alam dan kodrat zaman. Borderless country – negara-negara nyaris tak berbatas. Ruang dan waktu. Apa yang terjadi beribu-ribu mil dari tempat tinggal kita bisa kita saksikan seolah-olah ia terjadi di lingkungan sekitar kita. Tepat di depan mata kita. Pada waktu yang sama. Exactly.

Selesai mengkoordinasikan beberapa hal dengan tim kelas internasional, saya membuka-buka LMS Pendidikan Guru Penggerak. Refreshing. Saya buka modul 1.4. tentang budaya positif. Tepatnya pada bagian Berbagi Aksi Nyata. Saya ini orangnya senang belajar. Karakter kuat saya adalah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bahasa kerennya kepo… hahaha. Continue reading “Berbagi Aksi Nyata”

Mengembangkan Kelas Internasional

Bersama Pengajar Praktik Guru Penggerak-Bapak Mifta Churohman saat pendampingan di SMP Al Hikmah Surabaya

Unggahan kali ini tentang tugas saya di Pendidikan Guru Penggerak tentang Aksi Nyata di Modul 1.4 tentang Mengembangkan Kelas Internasional.

Bagian Pertama tentang rencana aksi. Bagian kedua tentang artikel refleksi apa yang telah saya lakukan terkait aksi nyata ini. Selamat membaca.

  1. PGP- Angkatan 2-Kota Surabaya- Hernawati Kusumaningrum-1.4-Rancangan Aksi

Nama Program: Kelas Internasional SMP Al Hikmah Surabaya

Target: 2 kelas (1 kelas putra, 1 kelas putri)

Strategi Pelaksanaan:

TAHAPAN Terlaksana/Belum/Tidak Keterangan
1. Observasi ke SMA Al Hikmah Surabaya

2. Melaporkan ke Kepala Sekolah hasil observasi

3. Presentasi di depan manajemen SMP

4. Presentasi di depan tim bahasa Inggris

5. Pembentukan tim kelas internasional

 

 

 

 

 

 

 

 

6. Mencari/membangun networking dengan sekolah-sekolah berbasis internasional

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7. Membangun komunitas praktisi

8. Menyiapkan seleksi

9. Menyiapkan administrasi pembelajaran

10.Melakukan pembelajaran sesungguhnya

 

Terlaksana

 

Terlaksana

 

Terlaksana

 

Terlaksana

 

Terlaksana

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terlaksana

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Belum

Belum

Belum

 

Belum

 

 

 

 

 

 

 

 

·      Tim sudah tebentuk namun sepertinya kolaborasi belum berjalan optimal. Semua sibuk dengan tugas akhir masa pelajaran masing-masing.

 

 

·       Generation Global- info dari Al Azhar Jakarta

·       Madani School, Bagian Internasional UNESA, AISEC—info dari Pak Mifta

·       Alumni SMP Al Hikmah yang berkecimpung di bagian internasional kampus

 

 

 

·      Dalam proses pembuatan alat tes, masih terkendala urusan teknis

 

 

Continue reading “Mengembangkan Kelas Internasional”

Membangun Budaya Positif di Sekolah

Apa sih budaya positif itu? Mari kita lihat dua kata ini, budaya dan positif. Menurut Koentjaraningrat budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Positif adalah lawan dari negatif. Secara umum artinya sesuatu yang baik. Sederhananya, budaya positif adalah nilai-nilai, gagasan, tindakan, dan karya-karya baik dalam kehidupan bermasyarakat. Continue reading “Membangun Budaya Positif di Sekolah”

Welcome Back

Pulang, Saya di depan lobi SMP Al HIkmah Surabaya (sumber: koleksi pribadi)

Ada hal menarik ketika mengerjakan tugas-tugas di Pendidikan Guru Penggerak (PGP) ini. Pertanyaan sering dimulai dari menanyakan bagaimana perasaan kita ketika melakukan sesuatu. Contohnya, ketika mengisi jurnal  mingguan ini.

Pertanyaan pertama,  bagaimana perasaan saya selama melakukan aksi untuk menguatkan nilai dan peran Guru Penggerak. Heeem….Sebelum menjawab pertanyaan ini tentu saja saya harus mengingat dan memahami kembali nilai dan peran Guru Penggerak yang sudah kami pelajari sepekan ini. Nilai-nilai tersebut adalah mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan berpihak pada murid. Nilai-nilai yang sebenarnya sudah saya miliki meskipun kadarnya tidak seberat sekarang setelah mengikuti PGP ini. Continue reading “Welcome Back”

4 Kompetensi Guru Penggerak

Catatan Lokakarya 1 Pendidikan Guru Penggerak (PGP)  Angkatan 2

Presentasi Kompetensi Guru Penggerak

Hari Sabtu, 29 Mei 2021 saya mengikuti Lokakarya 1 Pendidikan Guru Penggerak (PGP)  Angkatan 2 bagi Wilayah Mitra Provinsi Jawa Timur. Acara yang diikuti oleh 97 Calon Guru Penggerak (CGP) dan 11 Pengajar Praktik (PP) tersebut bertempat di dua lokasi berbeda. CGP Surabaya terbagi dalam 6 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 15 sampai 18 CGP. Kelompok Surabaya 1 sampai 3 bertempat di Hotel Bisanta Bidakara  dan  kelompok Surabaya 4 sampai 6 di Surabaya Suites Hotel. Saya termasuk kelompok Surabaya 2. Pengajar Praktik di kelas saya Pak Sastro dan Pak Rahmad. Continue reading “4 Kompetensi Guru Penggerak”

Bingleb

Penyerahan secara simbolis Bingleb 1442 H dari Komite Sekolah Al Hikmah

Entah siapa yang kali pertama mempopulerkan istilah Bingleb ini. Bagi Anda yang belum tahu, Bingleb adalah akronim dari Bingkisan Lebaran. Kalau YLPI Al Hikmah memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para guru dan karyawannya, komite sekolah menambahkannya dengan Bingleb. Komite sekolah ini membuka pintu kebaikan bagi 2816 wali murid Al Hikmah untuk memberikan kebahagiaan tersendiri kepada kami–guru dan karyawan– menjelang Idul Fitri 1442 H ini.

Perlu diketahui, Komite sekolah yang dikomandani oleh dr. Doni Hendrasto ini termasuk sangat concern pada sekolah. Sangat aktif dalam menjalankan perannya sebagai partner dakwah yayasan. Tidak hanya urusan Bingleb saja melainkan banyak hal lainnya. Di masa pandemi ini, kontribusinya sangat luar biasa. Berkolaborasi dengan sekolah untuk kesuksesan pembelajaran online, men-support guru dan karyawan terdampak Covid-19, mensuplai vitamin, memberikan dukungan psikologis, mengedukasi komunitas Al Hikmah terkait vaksin untuk menyebut beberapa. Yang terbaru adalah persiapan pembelajaran tatap muka. Continue reading “Bingleb”

Youth Talks

Seorang siswa sedang melakukan presentasi (sumber: dokumen pribadi)

Kalau Anda pernah menyaksikan TED TALKS, yang akan saya ceritakan ini mirip-mirip lah. Beberapa hari yang lalu, Direktur Pendidikan Al Hikmah Surabaya meminta saya melihat salah satu program di SMA Al Hikmah Surabaya. Kapasitas saya sebagai Tim Penjamin Mutu. Jadi, saya tidak sekadar datang melainkan harus memberikan laporan kegiatan tersebut.  Nah, tulisan saya ini sedikit banyak improvisasi laporan yang sudah saya buat.

Adalah Ustad Chusnul Rozaqie, sang penggagas program Youth Talks ini. Beliau adalah pimpinan saya ketika kami masih mengelola Pusat Bahasa Al Hikmah Surabaya. Pak Chus, begitu kami memanggilnya, memang tergila-gila dengan TED TALKS. Semacam konferensi yang membagikan ide atau gagasan-gagasan brillian dengan pembicara dari berbagai macam bidang.

TED adalah organisasi media nirlaba yang mengunggah presentasi secara gratis dan didistribusikan online, di bawah slogan ideas worth spreading.  TED sendiri adalah kependekan dari Technology, Entertainment, and Design.  Concern awal ketiga bidang tersebut, sesuai asal Silicon Valley-nya. Bagaimana mengawinkan teknologi, desain dengan entertainment agar lebih membumi. Semakin lama, semakin lebar fokus dan presentasinya merangkul berbagai topik akademis, budaya, dan ilmiah. Kalau ingin menyelam lebih jauh, silakan membaca di https://www.ted.com/talks?language=id

Versi bahasa Indonesianya juga ada. Salah satunya bisa disimak di https://www.tedxjakarta.org/

 

*** Continue reading “Youth Talks”

Kreativitas

Salah satu kandungan filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah perubahan. Perubahan menjadi satu-satunya hal di dunia ini yang konstan. Siapa yang tidak bisa mengikuti perubahan, siap-siap saja ditelan zaman.

Bagi kita yang berkecimpung di dunia pendidikan, hal ini menjadi sangat penting. Guru sebagai agen perubahan di masyarakat bertanggung jawab menyiapkan sumber daya manusia  (SDM) yang berkualitas. SDM yang tangguh terhadap perubahan, mumpuni, dan berdaya saing tinggi.

Salah satu indikator SDM yang berdaya saing tinggi adalah kreatif. Kreativitas menjadi salah satu dari 4 keterampilan utama yang wajib dimiliki siswa di abad 21. Ketiga lainnya adalah berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi. Itulah mengapa kreatif juga menjadi salah satu Profil Pelajar Pancasila yang harus kita kawal dalam mewujudkannya. Continue reading “Kreativitas”