Dulu saya beranggapan bahwa coaching itu hanya ada di dunia olah raga. Kata itu mengacu pada pelatih. Coach Christian Hadinata misalnya. Pelatih bulu tangkis kenamaan yang mampu mengantarkan Indonesia meraih Piala Thomas 1998 dan dua emas di ajang olimpiade.
Seiring perjalanan waktu, coaching berevolusi merambah ke berbagai bidang. Sebut misalnya leadership, pengembangan diri, bisnis, dan karir. Eits, tunggu dulu. Ternyata saya juga pernah dipanggil coach saat memberikan pelatihan menulis amatiran pada emak-emak. Kalau ingat itu saya jadi tersenyum sendiri.
Tapi memang benar. Coach dibutuhkan dalam berbagai bidang. Tak terkecuali bidang pendidikan. Anak-anak butuh coaching agar melejitkan potensi yang ada dalam diri mereka, agar mereka mampu menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dengan cara mereka sendiri. Guru hanya membantu mengulik kompetensi mereka yang tersembunyi. Dengan demikian, anak bisa mengoptimalkan potensi untuk mencapai kesuksesan. Menjadi well-being students.
Tak heran jika dalam sebuah forum berbagi inspirasi TedTalk, Bill Gates berkata, “ Everyone needs a Coach. It doesn’t matter whether you’re a basketball player, a tennis player, a gymnast or a bridge player. We all need people who will give us feedback, that’s how we improve.”
Setiap orang membutuhkan coach, orang yang memberi masukan yang akan membuat hidupnya menjadi lebih baik. Hal ini tentu saja sesuai dengan definisi coaching itu sendiri. International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.
Dengan bahasa sederhana bisa dikatakan coaching membantu coachee menemukan hal-hal positif dalam dirinya dan mengembangkannya sehingga menjadi pribadi yang lebih baik. Kalau kita seorang guru tentu coachee kita adalah murid. Hal ini senada dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Apalagi setiap murid itu unik sehingga mereka berhak mendapat layanan pendidikan yang sesuai dengan minatnya, tingkat kesiapan, dan profil belajarnya. Di sinilah pendidikan berdiferensiasi mendapat tempatnya.
Selain murid, bisa jadi coachee kita adalah guru atau rekan sejawat. Rekan-rekan guru adalah teman seperjuangan. Namanya berjuang tentu ada masa-masa menyenangkan atau sebaliknya. Perjalanan tidak selalu mulus, bukan. Guru dituntut paham betul tidak saja konten-konten akademik tetapi juga sisi-sisi sosial emosional agar mampu menumbuhkan karakter unggul murid. Tidak saja cerdas secara akademik tetapi juga santun secara moral sehingga mereka menjadi well-being students. Nah, guru-guru ini pun butuh coach untuk mendapatkan feed back agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar berdampak pada murid sehingga pendidikan benar-benar berpihak pada murid.
Pertanyaannya, bisakah guru menjadi coach?
Sangat bisa. Coaching adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Dunia guru sangat dekat dengan dunia belajar maka tidak ada alasan bagi guru untuk tidak bisa menjadi coach. Belajar untuk kemudian menerapkannya dalam dunia nyata. Intinya, tidak berhenti pada tataran teori tapi dipraktikkan. Bahasa kerennya sih experiental learning, pembelajaran berbasis pengalaman. Seperti yang sedang dilakukan di Pendidikan Guru Penggerak. Guru belajar kemudian mempraktikkannya di lapangan, mengevaluasinya sedemikian rupa. Yang bagus ditingkatkan, yang kurang dicarikan solusinya. Begitu siklusnya. Semakin sering berlatih, semakin terampil tentunya.
Keterampilan berkomunikasi menjadi hal yang penting dalam coaching. Bagaimana seorang coach menanyakan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mampu menggugah coachee untuk menemukan potensi diri yang terpendam dan mengembangkan potensi diri tersebut sebaik-baiknya. Inilah komunikasi yang memberdayakan-empowering communication.
Komunikasi asertif, mendengar aktif, bertanya efektif, dan memberikan umpan balik positif adalah beberapa contoh komunikasi yang memberdayakan. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dibangun atas dasar percaya dan hormat. Bagaimana cara kita menyampaikan pesan kepada coachee dengan baik agar semua kepentingan terwadahi. Tidak agresif tapi juga tidak submisif. Intinya, bagaimana cara kita mencapai pemahaman bersama atas sebuah masalah. Mencapai sebuah keselarasan.
Mendengar aktif adalah kemampuan kita untuk mendengarkan lawan bicara kita dengan kesadaran penuh. Itulah mengapa seorang coach lebih banyak mendengar daripada berbicara. Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut sepertinya juga untuk kepentingan seperti ini. Lebih banyak mendengar orang lain agar muncul lebih banyak empati, lebih banyak menangkap pesan yang disampaikan.
Bertanya efektif sangat dibutuhkan dalam coaching karena akan membantu coachee menggali potensi dirinya. Tentunya pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan bukan pertanyaan tertutup melainkan pertanyaan yang mampu menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan ide dan gagasan yang mungkin belum pernah terpikirkan sebelumnya, dan menghadirkan emosi atau nilai-nilai positif dalam diri sehingga memampukan coachee mengembangkan diri lebih optimal lagi.
Keterampilan yang tidak kalah pentingnya dalam coaching adalah memberi umpan balik positif. Umpan balik ini sangat dibutuhkan oleh coachee untuk membangun potensi yang dimilikinya, menumbuhkan rasa percaya diri dan memotivasinya untuk menjadi lebih baik lagi. Umpan balik positif ini harus diberikan langsung pada saat coaching, bentuknya harus spesifik-fokus pada hal yang dituju. Tak lupa coach harus menyertakan perasaan sepenuhnya saat memberikan umpan balik positif ini.
Coaching Model TIRTA
Coaching model TIRTA diadopsi dari Grow Model yang sudah banyak dikenal. GROW adalah kependekan dari Goal, Reality, Option, dan Will. Jadi, dalam sebuah sesi coaching harus ada goal atau tujuan yang ingin dicapai, reality (kenyataan yang terjadi pada diri coachee), option (pilihan-pilihan solusi yang muncul selama sesi coaching, dan will (keinginan untuk selalu bergerak menjadi lebih baik).
TIRTA sendiri adalah akronim dari Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, dan Tanggung Jawab. Senada dengan Grow di atas, dalam coaching model TIRTA juga dimulai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh coachee. Kemudian mengidentifikasi fakta-fakta yang terjadi dan dirasakan oleh coachee. Lalu, dari identifikasi ini muncullah rencana aksi yang dipikirkan coachee dan ditutup dengan komitmen yang merupakan bentuk tanggung jawab seorang coachee. Yang menjadi catatan adalah coach hanya membantu coachee mengeluarkan semua potensinya sehingga baik itu tujuan, identifikasi, rencana aksi dan komitmen semua berasal dari coachee. Keputusan terakhir ada di tangan coachee.
Mempraktikkan coaching model TIRTA ini tidak semudah membaca teorinya. Saya mencoba melakukan eksperimen terhadap 6 anak yang saya pilih secara random di kelas-kelas yang saya ajar. Ada yang saya harus menyerah karena tidak mampu mengulik apa yang sedang dihadapi coachee. Murid yang satu ini sangat pendiam. Sepanjang sesi coaching dia hanya diam, matanya menatap langit-langit. Saya pun kehabisan gaya. Hehehe…
Ada yang saya tidak bisa menikmati suasana coaching-nya karena terkendala jaringan. Sedang enak-enaknya mencoba mengidentifikasi hal-hal terkait coachee, internetnya nge-lag. Berkali-kali saya minta coachee mengulang pada beberapa bagian hingga akhirnya saya putuskan saya tidak berhasil.
Ada lagi yang saya terpaksa banting setir menjadi konselor karena murid ini ternyata memiliki masalah yang berat. Saya mengenalnya sebagai sosok yang sangat ceria dan cukup famous namun ternyata saya menemukan sisi lain dirinya yang rapuh. Dia tidak mampu menahan tangisnya dan tidak mampu berpikir jernih apa yang harus dilakukan. Saya harus memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
Video yang menyertai tulisan ini contoh coaching model TIRTA yang saya lakukan. Dari keenam proses eksperimen coaching, video ini yang lebih mendekati ideal. Masih amatiran sih karena baru belajar namun saya yakin suatu saat saya akan mampu melakukannya lebih baik lagi. Coaching membantu murid menemukan potensi dirinya dan mengembangkan diri menjadi lebih baik.
Sidoarjo, 5 September 2021