Pernakah Kau Merasa Ditampar?

Pagi ini saya (masih) merasakan efeknya. Setelah saya ingat-ingat, ada tamparan serupa yang saya rasakan beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19. Ada baiknya saya ceritakan secara kronologis. Tamparan pertama kemudian tamparan terbaru, tadi malam.

Saat itu saya sedang membantu menyiapkan sebuah tasyakuran kecil di rumah kakak saya, Mbak Sri. Event-nya nunut pengajian PKK RT. Kakak saya ini menempati rumah orang tua kami (almarhum) di Surabaya, saya tinggal di Sidoarjo. Rumah masa kecil saya.

Seperti biasa, saya suka berada di dapur. Ada tiga ibu-ibu yang membantu menyiapkan makanan. Usianya sebelas-dua belas dengan saya.  Sambil tangan ini lincah memotong-motong lontong, telur, menyiapkan kentang, dan sebagainya mulut kami tak berhenti bicara. Khas emak-emak.

Salah satunya, sebut saja Mbak Ayu, menceritakan dua anaknya. Yang pertama-laki-laki- sudah bekerja, mendapat penghasilan lumayan plus bonus kendaraan dari kantor. Sekarang sedang siap-siap mengredit DP rumah. Satunya lagi– perempuan–akan masuk SMA.

“Mbak, sampeyan ini enak ya.. ngajar di sekolah Islam,” ia membuka percakapan. Mbak Ayu tahu kalau saya mengajar di Al HIkmah dari Mbak Sri.

“Alhamdulillah,” saya menjawab dengan tersenyum.

“Saya itu mbak, pengiiiiiiin sekali bisa mengaji. Alhamdulilah beberapa bulan yang lalu di masjid perumahan saya diadakan belajar mengaji untuk ibu-ibu,” ceritanya kemudian. Yang dimaksud mengaji di sini adalah membaca Alquran.

“Alhamdulillah,” jawab saya tetap dengan tersenyum.

“Saya wuaktif ngaji. Ustadnya belum datang, saya pasti sudah ada di masjid setengah jam sebelumnya. Saya latihan membaca itu kok sulit banget ya? Apa saya yang sudah tua to mbak?” tanyanya kemudian.

“Allah akan memberikan ganjaran dobel untuk jenengan. Kalau yang lancar membaca mendapat pahala satu, maka yang kurang lancar mendapat dua. Soalnya sering diulang-ulang,” jawab saya sambil mengingat-ingat kata ustad yang pernah saya dengar.

“Terus anak saya itu lo Mbak, Tya. Saya itu pengiiin sekali mendengar dia mengaji. Dulu waktu TK, saya sekolahkan dia di SD Negeri, sorenya mengaji di mushola. Saya masih sering mendengar dia ngaji di rumah. Lah, sekarang begitu sudah besar kok saya nggak pernah mendengar dia mengaji. Saya ingin sekali mendengar suaranya mengaji. Soalnya saya kan kalau ngaji gratul-gratul, lha ini anak wes lancar ngajinya kok nggak pernah ngaji. Tobaat… tobaat.., “ keluhnya.

Deeegg…. saya tertampar.

Astaghfirullah

Saya ingat betapa saya kurang istiqomah dalam membaca Alquran. Saya sudah bisa membacanya–meskipun tidak merdu-merdu benar—dibanding Mbak Ayu. Ada orang yang tidak bisa membaca Alquran sampai-sampai begitu ingin mendengar bacaannya. Sementara saya yang sudah bisa membaca terkadang masih menyia-nyiakan.

Duhai Allah… ampuni diri ini.

Tamparan kedua terjadi tadi malam saat saya membuka chat di grup wali santri.  Ada seorang santri yang meninggal karena kanker Erwing Sarkoma. Kanker ganas ini menyerang tulang. Di Indonesia, ia termasuk yang jarang ditemukan. Sekitar 1 dari 1000 kasus. Biasanya menyerang anak dan orang dewasa muda.

Santri ini satu kelas dengan putra saya. Kelas 9 SMP.  Orang tuanya menulis kenangan terakhir bersama sang putra.

“Ayah, aku mau murojaah tapi aku susah bersuara, “ katanya sambil menata nafas, mengubah posisi tidur sedemikian rupa.

Ia minta  dada dan punggungnya digosok dengan Vics agar merasakan efek dingin.  Botol Vics itu sudah mau habis isinya karena seringnya dibalurkan ke punggung. Dengan perlahan, tangan kokoh sang ayah membalurkan di dada santri dengan perlahan sambil tetap menyenandungkan sholawat. Tangan itu hanya merasakan tulang yang tersisa. Tiada daging di sana. Kemudian merambah ke punggung, dengan perlahan mengoleskan Vics tanpa sedetik pun berhenti bersholawat. Tangan itu kembali merasakan benjolan kanker sebesar buah apel, kenyal dan lembut, tepat di samping tulang belakang.

“Ayah, tolong tenggorokan juga ya,  hidung juga,” pintanya kemudian.

Hati siapa yang tidak pilu membaca kalimat demi kalimat tulisan sang ayah.

Tanpa sedetikpun melewat sholawat atas Nabi, tangan-tangan itu mengoleskan obat gosok ke tenggorokan, hidung…

Sementara itu, murotal juz 29 yang dibaca oleh Syekh Emad Al-Mansary mengalun lembut. Mengiris. Qori ini kegemaran si santri. Diawali oleh QS. Al Mulk, santri berusaha mengeluarkan suara namun sangat susah  meski sudah berusaha berganti posisi  dan berusaha menarik napas.

“Sayangku, kalau adek sudah berniat murojaah meski tak bisa mengeluarkan suara, Allah tahu sayang…., ikuti dalam hati saja…..,  “ tulis sang ayah yang makin membuat hati saya hancur. Air mata jatuh tanpa saya minta. Derass…bahkan ketika saya tuliskan ini.

Si santri lebih tenang dan rileks setelah sang ayah menuturkan jika sudah berniat membaca meski tak kuasa mengeluarkan suara, Allah tahu. Sang ayah sadar, sang santri ini sering mengimami sholat keluarganya dengan nada bacaan Syekh Emad Al-Mansary.

Sekitar pukul 10 malam, sang ayah pamit untuk istirahat. Ibunda dan kakaknya bergantian menjaganya.

“Ya, ayah harus jaga kesehatan, “ jawabnya dengan napas tersengal.

Ayah pun mencium keningnya seraya berkata dalam hati maafkan ayahmu ini sayang yang belum bisa menjagamu…

Singkat cerita si santri tertidur dalam buaian Alquran. Sekitar  tengah malam, ia pun menemui Sang Khaliq dalam kedamaian.

Innalillahi wainna ilaihirojiun. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu…

Mata saya panas. Buliran-buliran air mata ini tak mau berhenti. Saya mengambil jeda sejenak.

Duhai Rabb… ampuni diri yang terkadang masih lalai tak membaca kalamMu. Santri itu masih ingin menderaskan Alquran sementara lisannya tak mampu mengeluarkan suara. Sedangkan saya?

 

Surabaya, 6 Oktober 2020

Mengenang ananda Ridwan Muhammad Herlambang

Santri Pondok Tahfidz Ar Rohmah 2 Malang

 

 

 

 

 

4 Replies to “Pernakah Kau Merasa Ditampar?”

Leave a Reply

Your email address will not be published.