Generation Global

Flyer 10th Anniversary of Generation Global

Sebelumnya saya sampaikan terima kasih yang dalam pada teman kuliah S1 saya- Ilmi Kharisah yang telah mengenalkan pada Generation Global (GG). Ceritanya, awal merintis kelas internasional saya menghubungi beberapa teman yang pernah tampak berkegiatan bertaraf internasional. Maksud tampak di sini adalah saya pernah menyaksikan foto-foto mereka atau mendiskusikan program-program sekolah di grup komunitas. Yang paling gampang yaa.. yang ada foreigner-nya gitu karena salah satu tujuan kelas internasional di SMP Al Hikmah adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya pada murid untuk  berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Selain itu juga terhubung dengan teman-teman mereka di seluruh penjuru dunia. Ah…alangkah senangnya. Continue reading “Generation Global”

Hybrid Learning

Pekan-pekan ini sekolah di berbagai daerah sedang sibuk melakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas. Disebut terbatas karena hanya mendatangkan 50% siswa dalam satu kelas. Pekan sebelumnya 25% dari jumlah anak di kelas.  Model pembelajaran yang digunakan hybrid learning. Artinya, guru mengajar di depan separo jumlah anak di kelas secara langsung (on-site) dan separo lainnya melalui video conference (online) pada saat yang sama.

Bersyukurlah guru-guru yang melakoni ini karena kita banyak belajar hal-hal baru. Sesuatu yang baru selalu menarik untuk dikaji. Bahasa sederhananya diceritakan. Dulu, saat awal pandemi kita belajar bagaimana mengajar secara online. Mendadak daring. Kita pun tergagap-gagap. Continue reading “Hybrid Learning”

Jangan Takut Menulis

source: QutesGram

Sebagian orang menganggap menulis itu menakutkan. Takut tidak bisa menulis. Takut tulisannya jelek. Takut digunjing di belakang karena tulisannya jelek. Takut ditertawakan. Takut tidak bisa memulai tulisan karena tidak ada ide. Kalau sudah bisa memulai takut tidak bisa mengakiri tulisan.  Dan takut-takut yang lain.

Sebenarnya sah-sah saja orang bersikap demikian. Barangkali karena budaya tutur atau lisan kita lebih mendominasi dibanding budaya tulis. Kita lebih senang berbicara. Tidak ada yang salah dengan budaya tutur namun kalau kita menggenapinya dengan budaya tulis alangkah eloknya. Ingatan manusia sangat terbatas. Ilmu yang kita dapat hari ini belum tentu kita ingat keesokan hari. Maka ikatlah ilmu dengan tulisan, begitu kata Ali bin Abi Thalib berabad silam. Continue reading “Jangan Takut Menulis”

Kekuatan Teman Sejawat

Saya bersama teman sejawat CGP Angkatan 2 Surabaya dan Pengajar Praktik

Satu hal yang saya pelajari dari Lokakarya 5 Pendidikan Guru Penggerak (PGP) hari ini adalah kekuatan teman sejawat. Jadi, Calon Guru Penggerak (CGP) ini diminta menuliskan hal-hal apa yang berkembang setelah mengikuti PGP selama 6 bulan ini. Jawaban sangat beragam. Ada yang menuliskan pengembangan pembelajaran, keaktifan dalam komunitas praktisi, keterampilan coaching, kemampuan mengelola aset sekolah, dan lainnya.

Yang menarik adalah ketika ditanya faktor pendukung apa yang paling berpengaruh dalam berkembangnya kemampuan CGP ini. Mayoritas menjawab teman sejawat. Hal ini  sangat beralasan  mengingat CGP tidak bisa bekerja sendiri baik ketika dalam pendidikan maupun aplikasinya di sekolah. Continue reading “Kekuatan Teman Sejawat”

Asset Based Community Development (ABCD)

Judul tulisan ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pengembangan Komunitas berbasis Aset. Gagasan tersebut dicetuskan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann– pendiri ABCD Institute di Northwestern University. Pemikiran tersebut muncul sebagai kritik atas pemikiran tradisional yang menekankan pada masalah, kekurangan, dan kebutuhan dalam sebuah komunitas. Bahasa kerennya Deficit Based Community Development (DBCD). Dengan bahasa sederhana bisa dikatakan komunitas sebagai penerima bantuan. Karena menerima bantuan, otomatis komunitas tersebut tidak berdaya, pasif, dan bergantung pada orang lain.

Sebaliknya, ABCD menciptakan komunitas yang berdaya, aktif, mandiri, dan produktif. Komunitas ini melihat semua aset yang mereka miliki untuk menyelesaikan tantangan yang mereka hadapi. Modalnya apa? Kekuatan positif dan potensi yang ada dalam diri mereka sendiri. Dengan demikian, hasil yang diharapkan akan lebih optimal.

Sekolah sebagai komunitas bisa memetakan kekuatan positif, aset atau modal utama dalam menjawab permasalahan yang ada. Kalau sebelumnya menggunakan pendekatan berbasis masalah sekarang sudah saatnya melalui pendekatan aset, modal atau kekuatan positif yang ada. Continue reading “Asset Based Community Development (ABCD)”

Berpikir Berbasis Aset

Gelas ini setengah penuh atau setengah kosong? (gambar: wikipedia)

Kata “aset” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti modal atau kekayaan. Kekayaan adalah segala yang kita punya. Tidak harus  berbentuk uang dan harta berharga lainnya. Fisik kita,  pikiran, kesehatan, pendidikan, agama, dan lainnya.

Kalau Anda mengikuti sinetron Keluarga Cemara di tahun 90-an pasti masih ingat soundtrack-nya.  Menurut Abah dan Emak harta yang paling berharga adalah keluarga. Keluarga Cemara ini pernah hidup berkecukupan di Jakarta hingga suatu ketika hartanya ludes. Mereka harus meninggalkan kenyamanannya. Beradaptasi dengan kehidupan baru yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Justru di sinilah mereka menemukan makna harta sesungguhnya yaitu keluarga.

Bung Hatta  lain lagi. Salah satu harta berharganya adalah buku. Saat diasingkan ke Boven Digul, ia membawa serta 16 peti berisi buku. Satu petinya bervolume  ¼ meter kubik. Jadi, total ada 4 meter kubik. Tulis Bung Hatta dalam memoarnya. Untuk memasukkan buku-buku tersebut ke dalam peti besinya saja membutuhkan waktu tiga hari. Sementara untuk pakaian, beliau hanya membawa 1 koper. Buku-buku itulah kekayaannya. Meskipun tubuhnya terpenjara Bung Hatta merasa merdeka karena pikirannya tidak terkungkung. Bung Hatta fokus pada aset yang dimilikinya—buku, kebebasan jiwa—dibanding dengan harta yang tak dimilikinya, kebebasan tubuh karena terpenjara. Continue reading “Berpikir Berbasis Aset”

Belajar Mengambil Keputusan

Wawancara dengan teman sejawat terkait pengambilan keputusan kasus Bu Tati

 

Ki Hajar Dewantara (KHD) mencetuskan azas pendidikan yang kita kenal dengan Patrap Triloka ketika mendirikan Perguruan Taman Siswa. Tiga semboyan yang sangat akrab di telinga kita. Sebagai pemimpin pembelajaran, guru bisa mengacu pada Patrap Triloka tersebut dalam mengambil keputusan.

Ing ngarsa sung tuladha– di depan memberi contoh. Ketika kita mengambil sebuah keputusan harus benar-benar mempertimbangkan agar keputusan tersebut tepat sasaran, fokus pada tujuan. Dengan demikian, murid bisa melihat kita sebagai role model di kelasnya. Seorang decision maker andal.

Ing madya mangun karsa berarti ketika kita berada di tengah-tengah murid harus mampu membangun kekuatan, potensi yang ada dalam diri mereka. Segala keputusan yang kita ambil harus berpihak pada murid. Bagaimana keputusan tersebut mampu mengulik setiap potensi murid yang masih terpendam. Guru harus cerdas, kreatif, inovatif  agar mampu memendarkan ide dan gagasannya dalam mengembangkan murid.

Tut wuri handayani artinya di belakang memberikan dorongan. Keputusan-keputusan yang kita ambil hendaknya mampu mendorong kepercayaan diri murid, potensi berkembang murid sehingga mereka merdeka melangkah. Tentu saja kemerdekaan yang kita berikan juga harus diiringi oleh tanggung jawab. Continue reading “Belajar Mengambil Keputusan”

Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

Tandem presentasi Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak bersama Ustad Edy Kuntjoro-Kepala SMA Al Hikmah Boarding School Batu

Tergabung dalam Pendidikan Guru Penggerak (PGP) merupakan berkah bagi saya. Banyak hal baru yang saya dapatkan baik ilmu maupun pertemanan. Ilmu ini sangat penting bagi saya sebagai guru yang haus pengembangan diri. Guru harus belajar, belajar, belajar baru mengajar. Pertemanan juga sangat penting karena guru-guru yang terhubung bisa saling menguatkan, berbagi informasi dan praktik-praktik baik yang telah dilakukan yang sekiranya bisa diadopsi untuk menyukseskan pendidikan. Setidaknya di ruang kelasnya. Continue reading “Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran”

Dilema Etika vs Bujukan Moral (2)

Kemarin sudah saya tuliskan 4 paradigma yang bisa dipakai jika menghadapi dilema etika. Selain menggunakan paradigma-paradigma yang ada, ada yang namanya 3 prinsip pengambilan keputusan.

Pertama, berpikir berbasis hasil akhir (end-based thinking). Artinya, keputusan yang diambil untuk kebaikan orang banyak. Kedua, berpikir berbasis peraturan (rule-based thinking). Keputusan yang diambil sudah sesuai dengan aturan atau tugas yang dibebankan dan ketiga berpikir berbasis rasa peduli (care-based thinking).

Setelah itu baru keputusan yang telah diambil tadi dicek kembali berdasarkan 9 langkah pengecekan. Seperti apa itu? Continue reading “Dilema Etika vs Bujukan Moral (2)”

Dilema Etika vs Bujukan Moral (1)

source: https://unsplash.com/photos/TW_dKLcR8s4

Pekan ini kami belajar mengambil keputusan. Ini hal yang baru lagi bagi saya. Ternyata mengambil keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan itu ada ilmunya. Pernah kan kita berada dalam posisi bingung dalam menentukan sebuah keputusan? Nah ternyata kebingungan itu mengarahnya ke dua keadaan yaitu dilema etika dan bujukan moral?

Makanan apa lagi tuh? Continue reading “Dilema Etika vs Bujukan Moral (1)”