Apa sih budaya positif itu? Mari kita lihat dua kata ini, budaya dan positif. Menurut Koentjaraningrat budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Positif adalah lawan dari negatif. Secara umum artinya sesuatu yang baik. Sederhananya, budaya positif adalah nilai-nilai, gagasan, tindakan, dan karya-karya baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Budaya positif di sekolah berarti nilai, gagasan, tindakan, dan karya-karya baik tersebut ada di sekolah. Contoh yang sering kita temukan senyum, salam, sapa, sopan, dan santun. Senyum adalah sebuah tindakan kecil yang bisa menguatkan hubungan. Ia bersifat mirroring. Artinya, apa yang kita lakukan akan kembali persis pada kita. Seperti kalau kita bercermin.
Masih banyak lagi budaya positif yang bisa kita bangun di sekolah. Sebut misalnya kejujuran, kebersihan, kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai, disiplin, tanggung jawab, menciptakan rasa aman, mencintai belajar, kerja sama, kerja keras, dan lain-lain.
Nah, bagaimana membangun budaya positif di sekolah? Pembiasaan kata kuncinya. Pepatah lama mengatakan ala bisa karena biasa. Karena terbiasa maka akan menjadi budaya. Sekolah sebagai institusi pendidikan wajib hukumnya menyemai bibit-bibit kebudayaan ini. Sekolah bertanggungjawab penuh mewujudkan apa yang dimaksud dengan pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.
Budaya positif di sekolah tentu saja akan mendukung terbentuknya budaya belajar di sekolah. Norma-norma baik yang disuntikkan guru kepada murid akan semakin menguatkan, mengokohkan kepribadian murid sehingga murid tidak saja cerdas secara akademik tetapi juga santun secara moral. Dengan demikian, Profil Pelajar Pancasila (PPP) yang diidam-idamkan bisa diwujudkan. Pelajar yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif.
Untuk mewujudkan PPP tersebut guru harus memantaskan diri. Sudah seharusnya guru memiliki nilai-nilai yang setara dengan PPP tersebut. Bagaimanapun juga guru adalah role model. Para pendahulu kita dulu menyebut Guru—digugu lan ditiru. Digugu artinya dipercaya-ditaati, ditiru artinya diikuti atau diteladani.
Guru Penggerak dan Budaya Positif Sekolah
Sebagai guru penggerak, kita memiliki nilai-nilai yang harus dipegang teguh dan peran yang harus dimainkan. Nilai-nilai mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan berpihak pada murid harus benar-benar kita imani. Peran kita sebagai pemimpin pembelajaran, penggerak komunitas praktisi, coach bagi guru lain, dan menggerakkan kepemimpinan murid semakin melengkapi peran kita sebagai guru.
Untuk memainkan semua peran itu dibutuhkan kolaborasi dengan semua pihak. Sama dengan membangun dan mengembangkan budaya positif sekolah. Tidak bisa ditempuh secara solo. Harus berkolaborasi. Siswa, guru, manajemen sekolah, karyawan, orang tua semua harus terlibat. Guru-guru sebagai pemegang posisi penting dalam membangun budaya positif bisa memulainya dari ruang kelas mereka. Membangun kesepakatan kelas, keyakinan kelas akan hal-hal positif yang bisa ditumbuhkan sehingga pembelajaran yang mereka dapatkan benar-benar memerdekakan. Sekolah sebagai ekosistem pendidikan yang ramah anak dan ramah lingkungan benar-benar dapat diwujudkan. Pendidikan yang mereka peroleh akan menyelamatkan dan membahagiakan mereka yang pada akhirnya akan menjadikan mereka sebagai well being students.
Semoga.
Sidoarjo, 29 Juni 2021