Abi dan Kompetisi

Alat peraga Label Obat dan Makanan (dok.pri)

“Abi…. aku lolos…, “ seru saya ketika kebetulan saya lolos dalam sebuah kompetisi atau memenangkan sebuah lomba. Saya menghambur dalam pelukannya. Ia merapatkannya. Sekecup ciuman mendarat di kening saya.

“Umik hebat!!!”  katanya. Segera ia banggakan saya di depan putra-putri kami. “Umikmu hebat!” serunya dengan mata berbinar-binar.

Dan saya selalu menjawab begini,

“Umik bisa lolos di lomba ini karena dukungan Abi. Kalau Abi nggak support, nggak mungkin Umik bisa seperti ini.”

***

Itulah fragmen dalam kehidupan kami. Saya memang senang mengikuti kompetisi atau perlombaan. Pertama sih coba-coba. Akhirnya ketagihan. Lomba pertama yang saya ikuti adalah Lomba Inovasi Pembelajaran di Malang tahun 2010. Saat itu saya dikirim oleh LPMP Surabaya. Saya mempresentasikan pembelajaran menggunakan barang bekas. Barangkali karena event perdana, saya tidak pede sehingga tidak meraih juara. Juara pertama diraih oleh seorang guru dari Malang. Presentasinya top markotop.

Kegagalan adalah cambuk. Saya mengevaluasi diri mengapa saya gagal. Apa kekurangan saya? Ternyata banyak!!! Hahaha….  Pertama, para kompetitor itu disiapkan oleh sekolahnya, oleh dinasnya  sementara saya ikut lomba tersebut ngglundung semprong kata orang Jawa. Artinya, asal ikut saja tanpa persiapan yang matang. Kedua, bagaimana bisa juara wong presentasi saya pakai bahasa Indonesia sementara para kompetitor ngewes bahasa Inggrisnya. Lho, mengapa saya kok nggak pakai bahasa Inggris? Ini jawabnya agak susah. Antara malu, lupa, nervous dan nggak pede dengan bahasa Inggris saya yang medok Jawanya. Komplikasi. Mengapa saya malu? Mengapa nggak pede padahal di depan anak-anak di kelas saya begitu tegas mantap dalam mengajar?

Saya mendiskusikan hal tersebut dengan Abi. Bagi saya, Abi lebih dari sekadar suami. Ia seorang sahabat, konsultan yang hebat. Ia juga visioner yang tajam.  Ia tahu istrinya ini potensial menjadi guru baik dan ia nggak mau membonsainya. Sebaliknya, justru ia membimbing dan menunjukkan jalan sukses saya. Abi mampu mengarahkan saya meraih mimpi-mimpi saya. Step by step. How lucky I am. Betapa beruntungnya saya.

Saat itu ia berkata,”Jangan dilihat ini sebagai kegagalan, Mik. Justru ini starting point sampeyan.”

“ Maksudnya?” tanya saya nggak paham. Wong kalah kok nggak gagal. Gimana sih?

“Sampeyan itu sudah menang. Menang KESEMPATAN yang tidak semua orang dapatkan. Coba kalau sampeyan nggak ikut lomba itu. Nggak bakalan paham dunia luar seperti apa. Sampeyan hebat di dalam tapi di luar??? En….noool. Seperti……,”

“Katak dalam tempurung?” pancing saya, “Abi iki ngenyeeekk….!!! ”seru saya sambil mencubit lengannya.

“Lho, yang ngomong sampeyan sendiri kok aku dibilang ngenyek?” bantahnya.

“Sekarang,  sampeyan harus berbenah. Yang sampeyan bilang kegagalan itu sebenarnya karunia. Harus disikapi dengan positif. Sampeyan harus fokus di bidang sampeyan. Pelajari sampai jadi ahli. Baca buku, Mik. Nulis…ojok lali.  Sampeyan harus punya banyak teman agar sampeyan kaya. Kaya ilmu, kaya informasi, kaya hati,” pungkasnya.

***

Abi benar. Ketika saya lebih terbuka, saya mendapatkan banyak hal. Saya belajar dari banyak orang. Saya menjadi lebih pede berhadapan dengan orang. Inilah pentingnya networking. Lalu saya mencoba peruntungan dengan mengikuti lomba yang diadakan LIPI tahun 2012. Alhamdulillah saya menang. Itulah pertama kalinya saya naik pesawat ke Jakarta. Gratis. Pulangnya diamplopi. Hasil lomba bisa untuk memanggil rombong soto dan dinikmati teman guru dan karyawan satu sekolah.

Kesuksesan itu candu. Saya merasa tertantang. Mengikuti lomba ini itu. Beberapa di antaranya saya menang, beberapa lainnya saya kalah. Namun, pandangan saya terhadap kekalahan menjadi berbeda sejak diskusi saya dengan Abi. Tahun berganti tahun. Saya semakin eksis di dunia lomba. Barangkali orang lain menganggap ribet harus menyiapkan ini itu ketika kita lolos di suatu kompetisi. Saya sebaliknya. Mengakrabi berbagai jenis lomba yang berbeda bagi saya sangat menyenangkan.

Lomba PTK, Best Practise, Pembelajaran bahasa Inggris berbasis TIK, Inobel, Guru Berprestasi, Seleksi Guru ke Amerika, ke Korea, dan lomba-lomba kepenulisan berbasis blog beberapa contohnya.  Saya sangat menikmati prosesnya. Mulai menyiapkan sampai hari-H pelaksanaannya. Bertemu dengan guru-guru dari seluruh penjuru Nusantara. Para pejuang lomba lainnya. Menikmati adrenalin bekerja saat harus mempertahankan karya ilmiah kita. Dag did dug menunggu dipanggil juri untuk presentasi. Deg deg an menunggu pengumuman pemenang.

Setelah puas melanglang buana di dunia perlombaan, saya istirahat dari hiruk pikuknya. Tahun 2019 saya vakum. Saya ingin menjadi penulis sunyi.  Abi tidak pernah mempertanyakan mengapa saya memilih jalan ini. Ia menghargai keputusan saya. Namun bukan Abi namanya kalau tidak jadi kompor. Di awal 2020 saya disodori informasi lomba kepenulisan di Malang. Abi dapat dari seorang teman di Malang. Saya terbujuk rayuan mautnya sehingga saya ikut lomba tersebut.

Lomba Penulisan Eko-Sosio-Kultura Lokal Kota Malang dalam Perspektif Historis namanya. Diadakan oleh Dinas Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang. Lomba ini sangat menarik karena mengulik Malang dari perspektif sejarahnya. Ternyata saya satu-satunya peserta dari luar Malang. Hehehe… Saya lolos sampai tahap ke dua. Banyak sekali ilmu tentang penelitian sejarah yang saya dapatkan di sini. Termasuk mengikuti paparan budayawan kota Malang, Dwi Cahyono  serta bimbingan Yusri Fajar, penulis buku Surat dari Praha. Pun bertemu juga dengan para peserta hebat lainnya. Salah satunya seorang perempuan yang bekerja di Dinas Pemakaman Umum. Ia menulis tentang sejarah makam seorang Belanda. Bagi saya, ini sangat istimewa. Seorang perempuan mengulik-ulik makam. Hiiiiiii….

***

Terbaru saya mengikuti seleksi Guru Penggerak. Sebelum apply, saya mohon izin pada Abi untuk ikut kegiatan ini karena memakan waktu yang panjang. Mulai dari seleksi, pendidikan sekitar 9 bulan, sampai implementasinya. Abi tidak pernah melarang. Ia justru mendukung penuh. Apalagi ketika tahu manfaat Guru Penggerak ini bisa dirasakan oleh teman-teman guru lainnya. Selain itu, ia sangat suka cita melihat istrinya dikelilingi kesibukan selain rumah, PKK, ngaji, dan kantor. Betapa beruntungnya saya memiliki suami seperti Abi.

Namun, semuanya berbeda sekarang. Ketika dinyatakan lolos ke tahap kedua saya sudah berniat mengajukan pengunduran diri. Saya belum upload RPP sebagai syarat tes mengajar. Sudah melewati deadline. Bagaimana mungkin saya mikir RPP sementara separo jiwa saya sudah tiada?

Saya menghubungi nomor pendamping yang ada di laman SIM PKB saya. Memberitahukan niat pengunduran diri saya. Panitia memotivasi saya bahwa seleksi tetap dilaksanakan. Kalau ada waktu saya diminta upload RPP 10 menit itu. Karena kesibukan saya mengurus surat-surat pasca wafatnya Abi, saya melupakan RPP itu hingga sebuah pesan masuk ke WA saya. Mengingatkan jadwal tes mengajar saya hari Senin, 25 Januari 2021 pukul 13.30- 14.00 WIB. Mohon konfirmasi RPP.

Bismillah… akhirnya saya rampung meng-upload RPP hari Sabtu malam. Saya akan mengajar Label untuk kelas IX. Alasan saya mengambil topik ini karena alat peraga banyak saya temukan di rumah. Berbagai macam obat dan vitamin kiriman dari sahabat-sahabat ketika Covid-19 menyerang cukup untuk memberikan penjelasan dalam mengajar.

Begitulah, hari Senin lalu saya tampil di hadapan dua juri dari Jakarta. Saya tersenyum lebar, mengajar dengan penuh perhatian, motivasi tinggi, dan bersuara lantang. Menjawab pertanyaan-pertanyaan formal juri semampu saya.  Mengimbangi canda tawa mereka dengan sangat baik.

Selepas itu saya berlari ke kamar. Beristighfar.

Saya menangis.

Ingat Abi.

 

 

Sidoarjo, 30 Januari 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published.