Literasi di Tengah Pandemi

Pentingnya literasi sudah tidak ada yang membantah lagi. Beberapa tahun terakhir ini geliatnya cukup terasa. Program-program digulirkan baik oleh Kemdikbud, organisasi profesi, organisasi nirlaba, maupun sekolah-sekolah.  Sebut misalnya Gerakan Literasi Nasional (GLN), Gerakan Literasi Sekolah (GLS), dan Gerakan Literasi Keluarga (GLK). Semua bertujuan menumbuhkan minat baca, syukur-syukur bisa merambah ke minat tulis. Kita mengenal produk-produk seperti Satu Guru Satu Buku (Sagusabu), ada yang menyebutnya Sagusaku, Satu Siswa Satu Buku (Sasisabu) dan sejenisnya.

Di era pandemi seperti saat ini akses anak-anak ke buku (bacaan non teks) menjadi berkurang karena mereka harus belajar di rumah. Mereka tidak bisa mengakses perpustakaan. Kalau biasanya saat istirahat bisa membaca buku, sebelum pulang sekolah meminjam buku, sepertinya kesempatan itu menjadi langka. Padahal, bagi beberapa anak membaca itu sebuah kegiatan selingan, refreshing dari jam belajar yang padat. Pada beberapa anak yang lain, membaca adalah kebutuhan.

Di bulan-bulan awal pandemi, masih wajar jika sekolah belum memikirkan hal ini karena ada  yang lebih penting. Bagaimana anak-anak tetap menerima pembelajaran meskipun tidak ideal. Sekolah mengupayakan layanan seoptimal mungkin agar anak-anak tetap bisa belajar. Trial and error pembelajaran jarak jauh dilakukan. Guru-guru mengajar dan belajar menggunakan teknologi secara simultan. Pelatihan bagaimana mengelola kelas secara daring laris di pasaran. Sekolah “memaksa” orang tua terlibat dalam proses pembelajaran, terutama di jenjang pendidikan dasar.  Semua tergagap.

Sekarang sudah hampir 8 bulan sejak diberlakukannya pembelajaran jarak jauh. Sudah saatnya melirik kembali literasi di sekolah. Kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini berakhir. Kalau kita tidak menghidupkan kembali budaya literasi, kita akan memanen kerugian yang besar. Anak-anak hanya berinteraksi dengan pelajaran, mengerjakan tugas-tugas, sisanya mungkin main HP.

Layanan Online

Sudah saatnya perpustakaan membuka layanan online. Anak-anak bisa memesan buku melalui kataloq online. Pemesanan ini bisa dilakukan melalui Whatsapp. Pustakawan mendata buku-buku  yang dipesan untuk kemudian dicarikan, diproses, dan dikeluarkan. Sistem ini membutuhkan kerja keras pustakawan karena harus merekap ulang secara manual sirkulasi peminjaman buku.

Pemesanan buku bisa dilakukan melalui google form juga. Ini lebih menguntungkan pustakawan karena tidak harus mengentri data manual dibanding melalui WA. Hasilnya bisa langsung diunduh dalam bentuk excel. Lain halnya kalau sekolah sudah mempunyai Learning Management System (LMS) yang terpadu. Pengguna perpustakaan bisa langsung mengakses perpustakaan online melalui e-library. Pengguna bisa mengaksesnya baik menggunakan laptop atau android. Jumlah buku yang dipinjam bisa dilipatgandakan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya 10 buku dalam satu bulan.

Untuk mengambil bukunya, ada beberapa cara yang bisa ditempuh di antaranya melalui drive thru. Peminjam memesan buku, pustakawan mencarikan, memproses, dan mengeluarkan buku tersebut. Pustakawan mengirim pesan jika buku siap diambil. Peminjam bisa ke sekolah mengambil buku yang sudah disiapkan. Buku-buku ini bisa diletakkan di post satpam sehingga memudahkan bagi peminjam. Peminjam bisa langsung mengambil buku yang sudah disiapkan di pos satpam sekolah. Atau bisa juga peminjam langsung menuju perpustakaan, mengambil buku yang dipesan langsung pulang. Tentunya hal ini dilaksanakan sesuai protokoler kesehatan yang telah ditentukan. Jumlah peminjam harian pun dibatasi jika animo peminjaman cukup besar.

Cara lain yang bisa ditempuh dengan menggunakan jasa ojek online. Pustakawan memanfaatkan jasa ojek online untuk mengirimkan buku yang sudah dipesan oleh peminjam. Ongkos ojek online ditanggung oleh peminjam. Kalau domisili peminjam jauh di luar kota misalnya, bisa memanfaatkan jasa pengiriman yang sekarang sudah banyak. Bisa melalui PT. Pos, JNE, J&T, Anter aja, dan sejenisnya.

Cara pengembalian bukunya pun sama. Bisa melalui drive thru, ojek online, maupun jasa pengiriman. Buku yang sudah dikembalikan harus dikarantina dalam beberapa waktu sebelum akhirnya dikeluarkan lagi bagi peminjam berikutnya.

Semoga dengan cara ini akses anak-anak pada buku (bacaan non teks) bisa lebih mudah. Mereka bisa membaca buku-buku tersebut sebagai aktivitas selingan dari belajar sehingga literasi bisa tetap terjaga meski di tengah pandemi.

 

Sidoarjo, 29 Oktober 2020

4 Replies to “Literasi di Tengah Pandemi”

Leave a Reply

Your email address will not be published.