Cincin

source: shopee.co.id

Entah mengapa tiba-tiba Siti sangat mendamba sebuah cincin.  Cincin emas tepatnya. Alangkah menyenangkan jika ada satu saja yang melingkari jari manisnya. Kecil pun tak apa-apa. Sudah terlalu lama Siti membiarkan jari manisnya itu telanjang tanpa pemanis. Sebenarnya bukan hanya jari manis, tetapi juga leher, lengan, dan kedua telinganya. Kosong. Song.  Kalau dihitung-hitung sih sudah belasan tahun.

Tentu saja itu semua bukan kehendaknya. Siti adalah perempuan. Sebagaimana perempuan lain yang mencintai keindahan,  tak terkecuali dia. Barangkali kehendak takdirlah yang memaksanya membiarkan jemarinya cantik alami. Pun leher, lengan, dan kedua telinganya.

Cantik? Apa iya masih tersisa? Dilihatnya buku-buku jarinya, kulit yang mulai kering, kusam, gelap dan tampak sedikit keriput. Kata orang semakin tua usia seseorang, semakin gelap kulitnya. Apalagi kalau tidak dirawat. Aaah… perawatan? Memikirkannya saja tidak berani. Dari mana ia mendapatkan dana perawatan diri kalau untuk membayar SPP anaknya saja masih terseok-seok.

***

Dulu, Siti pernah memiliki cincin-cincin yang cantik. Tentu saja, beberapa puluh tahun lalu. Sebelum menikah, Siti pernah bekerja sebagai tukang foto kopi di koperasi milik Dinas Imigrasi. Waktu itu, Siti baru lulus SMA. Karena tidak punya uang untuk melanjutkan kuliah, bapaknya menitipkan Siti pada tetangga yang bekerja di Dinas Imigrasi.

Tetangga ini rupanya punya jabatan yang lumayan sehingga bisa memasukkan Siti sebagai pekerja di sana. Namun, Siti tidak kerasan. Bos koperasi senang mengajaknya ngobrol. Kalau sekali dua mungkin tidak masalah. Siti melayani obrolan tersebut. Apalagi sebagai pegawai baru, tentu banyak hal-hal yang harus diketahui Siti. Tetapi bos ini tidak henti-hentinya mengajaknya ngobrol. Siti  jengah. Ia sungkan sama pekerja lainnya. Beberapa di antara mereka mulai berkasak kusuk.

Suatu hari si Bos memaksanya untuk mengantar pulang, Siti menolak dengan halus. Bos tidak gentar tetapi Siti pun enggan beranjak. Si Bos menjajari langkahnya. Siti pun mengambil jarak. Si Bos pantang menyerah. Siti berlalu menuju gerbang menunggu bemo. Cukup lama Siti menunggu.

“Ayolah, arah kita sama, “ kata si Bos dari balik Katana.

“Terima kasih, Pak. Itu bemonya sudah datang,” jawab Siti sopan.

Untunglah, saat itu bemo yang ditunggunya sampai di depan tempatnya berdiri. Dengan sopan, Siti meninggalkan si Bos sambil meminta maaf.

Keesokan harinya, Siti tidak masuk kerja. Begitu juga hari-hari selanjutnya. Ketika Bapak bertanya alasannya, Siti hanya menjawab ingin memberi les anak-anak saja. Sama seperti bapak yang guru SD. Malamnya, Bapak sowan ke tetangga yang mencarikan pekerjaan tadi, minta maaf.

Ternyata pilihan Siti menjadi guru les cukup ampuh. Dia mewarisi murid-murid bapaknya. Awalnya, hanya satu dua anak yang diajarinya. Seiring perjalanan waktu Siti mempunyai 5 orang murid. Gajinya sebagai guru les diberikan ke Emak. Segera Emak mengajak Siti ke pasar Wonokromo, ke Toko Mas Gadjah. Emak menyuruhnya melihat-lihat cincin sementara emak sendiri mencari giwang. Akhirnya, pilihan Siti jatuh pada cincin mungil bermata oval merah. Tidak lama kemudian, cincin emas 2 gram itu segera melingkar di jari manisnya. Sebelah kiri. Itulah pertama kalinya Siti mengenal cincin.

Sepanjang perjalanan pulang, tak henti-hentinya mata Siti melihat ke arah cincin yang dikenakannya. Dipatut-patutnya tangan kiri dan kanannya. Dalam hati Siti bertekad untuk bekerja keras lagi. Ia ingin membeli cincin baru untuk jari manis satunya.  Sebelah kanan.

Harapan Siti memiliki cincin untuk jari manis satunya akhirnya terkabul. Masih diantar Emak, ia pergi ke Toko Mas Gadjah di pasar Wonokromo. Kali ini ia ingin membeli cincin bermata bunga. Ditelitinya satu demi satu cincin di wadahnya. Dilihatnya juga beratnya. Siti ingin membeli yang lebih berat gramnya. Cincin emas bermata bunga putih dicobanya. 3 gram. Lumayan.

Begitulah. Seiring makin banyaknya murid, pendapatan Siti semakin besar. Ia pergi ke Toko Mas Gadjah Wonokromo. Apalagi kalau bukan untuk beli cincin. Kadang ia pergi ke Toko Mas Arjuno di pasar Kupang. Mencari suasana baru karena yang dibeli tetap cincin.

Jari jemari Siti semakin dipenuhi cincin. Siti hanya memenuhi jari telunjuk dan jari manis saja. Kata Emak, hanya dua jari itu yang diboleh dihias dengan cincin. Di masing-masing jari  menempel dua sampai tiga cincin. Macam-macam bentuknya. Ada yang polos, rantai, setengah rantai, bermata  merah, putih, dan biru. Ada juga yang bermotif bunga.

***

Waktu berjalan. Semua cincin itu akhirnya hilang. Tepatnya dijual. Siti ingin kuliah. Ia ingin menjadi guru beneran. Seperti Bapak yang mengajar di sekolah formal. Memakai seragam safari abu-abu. Awalnya Siti merasa berat harus berpisah dengan cincin-cincinnya. Karena keinginan kuliah yang meledak-ledak,  dilepaskan satu demi satu cincin tersebut. Siti berpikir toh nanti ia masih bisa membeli lagi. Ia akan kuliah sembari memberi les. Hasilnya ditabung untuk membeli cincin.

Benar adanya.  Siti mampu mengganti cincinnya yang hilang. Satu demi satu jari jemarinya kembali terisi dengan cincin emas. Siti senang bukan kepalang. Ia bisa mewujudkan impiannya. Menuntut ilmu sekaligus melingkarkan cincin di jari manisnya.

Di kampus inilah ia bertemu Tarjo. Senior yang beda jurusan. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Beberapa tahun kemudian mereka menikah. Keduanya sudah lulus. Siti menjadi guru di sebuah SD swasta di daerah Ketintang.  Tarjo menjadi guru PNS di kota Bangkalan, Madura.

Sebelum menikah, Tarjo melamar Siti dengan membawa seserahan. Tak lupa sebuah cincin. Tarjo hanya memberi sebuah, bukan sepasang. Cincin itu polos. Seberat 4 gram. Siti segera mengenakan cincin itu di jari manis sebelah kiri. Dikeluarkan semua cincin yang sebelumnya ada di jari manis kirinya. Siti membiarkan cincin kawin itu sendiri di sana. Diciuminya hangat. Sehangat cintanya pada Tarjo. Apa yang terjadi dengan cincin-cincin Siti yang lain?

Dijual. Siti harus merelakannya. Hasil penjualannya digunakan sebagai tambahan biaya pernikahan. Siti percaya nanti setelah menikah, Tarjo akan menggantinya. Setidaknya begitu yang dijanjikan.

Meskipun pernikahan yang diselenggarakan sederhana, tetap saja biaya membengkak.  Bapak dan Emak sudah menyumbang, semua cincin Siti sudah terjual, dan Tarjo pun memberikan urunan. Tetap saja Siti  harus meminjam ke saudara karena ada acara dadakan. Ah, tak apalah.

Setahun setelah pernikahan, Siti mengandung. Sayangnya, kondisi badannya tidak setangguh Emak yang mampu melahirkan enam anak perempuan. Hampir sepanjang waktu Siti pusing, mual dan muntah-muntah. Kondisinya semakin parah hingga ia terpaksa mengundurkan diri dari mengajar. Mungkin itu keputusan terbaik.

Gaji Tarjo sebagian besar digunakan untuk biaya kehamilan Siti. Ia harus minum susu agar bayinya sehat. Ia harus periksa kehamilan sebulan sekali.  Saat melahirkan, Siti kembali harus merelakan cincin satu-satunya yang dimiliki. Siti harus melahirkan dengan operasi. Tarjo berjanji akan menggantinya kelak.

Begitulah cincin satu-satunya di jari manis Siti hilang.

***

Tahun demi tahun berlalu. Karena kebutuhan yang besar, Siti akhirnya turun tangan. Mengajar kembali. Emak mengasuh si kecil. Tidak hanya satu tetapi dua. Tidak berapa lama, Siti bisa membeli cincin kembali. Siti mencari cincin yang persis dengan cincin kawin yang dipunyainya. Hatinya berbunga-bunga saat mendapati jari manisnya kembali mengenakan cincin kawin.

Tapi itu tidak bertahan lama karena anak keduanya sakit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Siti kembali menjual cincin kawinnya. Tentu saja, Tarjo berjanji akan menggantinya kemudian. Ternyata, itulah terakhir kalinya Siti memakai cincin sebab setelah itu ia harus melupakannya. Anak-anak tumbuh dengan cepat. Mereka harus sekolah. Biaya untuk sekolah tidak sedikit. Membeli seragam, buku, SPP. Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Untungnya Siti masih bisa mengajar. Untungnya, karir Tarjo lumayan. Ia sudah mendapat sertifikasi guru.

Setelah belasan tahun itu, entah mengapa Siti tiba-tiba ingin memakai cincin kembali. Keinginan itu menggebu-gebu hingga ia memberanikan diri mengatakan pada suaminya, Tarjo.

“Mas, nanti kalau dapat sertifikasi, mbok ya aku dibelikan cincin,” rajuk Siti saat mau tidur.

“Apa kebutuhan kita ke depan aman, Dik?” jawab Tarjo sambil menggenggam tangan Siti. Dalam hatinya Tarjo merasa bersalah belum bisa mengganti cincin yang hilang karena biaya anak yang sakit.

“Beras sudah ada. Insya Allah, aku ada tabungan sedikit,” jawab Siti meyakinkan.

Impian Siti terpenuhi. Ketika tunjangan sertifikasi cair, Tarjo segera mengajak Siti ke Toko Mas Gadjah di Wonokromo. Sayangnya, cincin yang diincar Siti tidak ada yang pas ukurannya. Ada yang terlalu sempit ada yang terlalu longgar. Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya Siti memutuskan untuk membeli cincin polos 4 gram meski sedikit longgar. Nanti akan dibalutnya dengan sedikit benang untuk mengganjal. Toh, tidak longgar-longgar amat. Akhirnya cincin tersebut segera beralih ke jari manis Siti. Siti merasa bahagia. Tarjo merasa gagah bisa memenuhi janjinya.

Keesokan harinya, Siti berangkat mengajar. Dihidupkannya motor dengan ringan. Dipandanginya cincin di jari manisnya. Benang merah yang membalut bagian bawah cincin menyembul malu-malu. Siti tersenyum.

Saat pulang, Surabaya diguyur hujan. Deras bak air bah yang ditumpahkan langit. Hujan tak mau reda meski Siti sudah menunggu cukup lama. Akhirnya,  ia nekat menerobos hujan. Segera dikenakannya jas hujan dan helm tuanya. Ditukarnya sepatu dengan sandal jepit. Bayangan anak-anak di rumah memaksanya pulang.

Hujan semakin tidak bersahabat. Deras menghantam wajahnya karena penutup helm yang hilang.  Roknya basah karena tempias hujan. Lengan bajunya pun kuyup.

Sampai juga Siti di rumah dengan selamat. Segera dilepasnya helm dan jas hujan. Disampirkannya jas hujan di pagar. Diperasnya bagian bawah rok yang berat karena air hujan.  Segera ia mencuci kaki dan tangannya. Saat itulah ia tersadar, jari manisnya yang telanjang.

 

Sidoarjo, 23/8/2020

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.