
Saya mengikuti Webinar Internasional beberapa waktu lalu yang diselenggarakan oleh SMA Al Hikmah Boarding School Batu. Webinar tersebut bertema The Impacts of Education System in Japan and Indonesia towards Citizen’ Readiness and Awareness in Facing the Corona Pandemi.
Edy Kuntjoro, Direktur Pendidikan Al Hikmah Boarding School Batu mewakili Indonesia. Takumi Morise, Direktur Aiwa Language Institute mewakili Jepang. Seminar ini sangat menarik karena tema yang diangkat sangat aktual dan faktual. Selain itu, para pemateri memaparkan presentasinya secara multilingual. Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Jepang. Tulisan ini sedikit banyak merupakan resume dari acara tersebut.
Acara dibuka oleh Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Ramliyanto. Dalam sambutannya, ia menyebut saat ini hampir 1,5 milyar siswa di dunia belajar di rumah karena pandemi. Di Indonesia sendiri ada sekitar 68 juta siswa yang terpaksa belajar di rumah. Jika ditambah dengan santri maka mencapai angka 100 juta. Di Jawa Timur sendiri, ada sekitar 5 jutaan siswa dan santri yang terdampak.
Selanjutnya, Ramliyanto mencatat Covid-19 menyimpan hikmah tersendiri bagi dunia pendidikan. Pertama, terjadinya pergeseran paradigma dari schooling society ke learning society. Biasanya, anak-anak harus pergi ke sekolah untuk belajar, sekarang tidak perlu ke sekolah untuk belajar. Kedua, suksesnya learning society tergantung pada keluarga. Banyak orang tua merasa kelabakan dengan adanya pandemi ini. Mereka dipaksa belajar menjadi guru mendampingi anak dalam belajar. Rumah telah menjadi tempat belajar yang aman dan baik. Ketiga, fenomena mendadak daring ini menjadikan guru gagap. Ratusan ribu lebih guru kita tidak disiapkan sebelumnya sehingga terpaksa harus mengakrabi dunia teknologi informasi. Pandemi telah menjadi madrasah untuk lebih cepat memasuki digitalisasi pendidikan.
Tantangan di Masa Pandemi
Edy Kuntjoro mengupas beberapa tantangan di masa pandemi. Pertama, tutupnya sekolah. Tercatat sejak bulan Maret 2020 sekolah terpaksa ditutup. Guru tidak pernah disiapkan mengajar online. Orang tua tidak disiapkan menjadi guru bagi anaknya. Siswa tidak disiapkan belajar daring setiap saat. Semua kelabakan dengan kondisi ini.
Jangankan di Indonesia, di negara maju seperti Amerika saja juga mengalami hal serupa. Seperti yang dilaporkan oleh Derek Newton di majalah Forbes. Artikel berjudul Most Teachers Say They Are ‘Not Prepared’ To Teach Online itu mengupas hasil survey yang dilakukan oleh Classtag—platform online komunikasi orang tua dan sekolah– terhadap guru-guru di sana. (forbes.com, 26/3/2020) Hasil survei menunjukkan sebagian besar guru tidak pernah disiapkan untuk kondisi seperti saat ini sehingga menimbulkan kebingunan.
Apa yang bisa dilakukan guru menghadapi situasi seperti ini? Saya mencatat beberapa poin penting sebagai berikut. Guru harus aktif mengikuti kursus-kursus online. Sudah bukan zamannya lagi guru diam. Selain itu, guru harus belajar membuat konten digital. Banyak software dan aplikasi yang bisa dimanfaatkan. Sebut misalnya Camtasia untuk membuat video, storyline untuk membuat media pembelajaran dan masih banyak lagi. Saat ini adalah abundance era yaitu berlimpahnya sumber belajar yang bisa dimanfaatkan secara gratis. Tak kalah pentingnya adalah guru harus aktif di komunitas belajar. Di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau komunitas belajar lainnya.
Tantangan kedua adalah bagaimana kita bisa memodifikasi kurikulum di era pandemi ini. Keputusan Mendikbud No 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus menyebutkan bahwa sekolah bisa menggunakan kurikulum nasional yang telah disederhanakan. Dengan kata lain, diperlukan kreativitas guru untuk menjawab tantangan ini.
Ketiga, keterlibatan orang tua. Tanggung jawab mendidik yang utama adalah orang tua. Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat mayoritas orang tua tidak disiapkan menjadi guru. Yang bisa dilakukan adalah membantu anak-anak dengan mengawal tugas-tugasnya. Selain itu bisa mendiskusikan apa-apa yang telah dipelajari. Dan yang tak kalah pentingnya adalah aktif berkomunikasi dengan guru.
Keempat, keterlibatan masyarakat. Ini sangat dibutuhkan mengingat tidak semua anak atau guru mendapat kemudahan akses pembelajaran daring. Sekarang sudah banyak komunitas yang memiliki empati dalam hal ini. Sebagai contoh masyarakat di Jogya Bisa Belajar menyediakan donasi quota data kepada siswa dengan ekonomi rendah. Banyak orang tua murid yang juga mendonasikan quota dan gawai. Dari kemendikbud sendiri meluncurkan website www. guruberbagi
Sejatinya, di balik pandemi ini ternyata menyimpan hikmah. Covid-19 memaksa para guru untuk belajar, meng-upgrade skill dan profesionalisme dalam mengajar, mengevaluasi kurikulum, dan mengembalikan esensi pendidikan itu sendiri. Tanggung jawab pendidikan bukan ekslusif milik sekolah melainkan juga orang tua dan masyarakat.
Pendidikan di Jepang
Sementara itu Takumi Morise menunjukkan karakteristik pendidikan di Jepang. Secara umum, pendidikan di sana berbasis collectivism sejak 1890. Pendidikan komunal ini berdasar azas kebersamaan. Menghafal menjadi teknik pembelajaran yang sangat penting bagi anak-anak di Jepang. Mereka harus menghafal huruf Kanji dengan banyak karakter.
Jepang terkenal dengan kedisiplinannya. Sekolah mempunyai aturan yang ketat untuk merawat disiplin yang sudah ditanamkan di rumah sebelumnya. Contohnya adalah budaya antri, makan, membersihkan kelas, belajar, beraktivitas di klub bersama-sama sesuai aturan. Mengenakan seragam ke sekolah merupakan salah satu aturan juga.
Yang istimewa adalah makan siang bersama menjadi bagian dari jam pelajaran. Petugas makan siang diambil dari siswa secara bergiliran untuk melayani teman-temannya. Ada beberapa anak yang tergabung dalam satu kelompok. Mereka mengambil makanan dari dapur, membawanya ke kelas, membagi ke teman-temannya. Begitu juga saat makan siang usai. Mereka bertanggung jawab sepenuhnya. Ini dilakukan sejak mereka kelas 2 SD. Mereka makan di dalam kelas. Anak-anak harus mengubah kelas menjadi tempat makan hanya dalam waktu 7 menit. Begitu juga sesudahnya. Semuanya dilakukan serba teratur, cepat, dan rapi.
Bagaimana dengan gurunya? Guru- guru di Jepang harus di sekolah mulai pagi sampai malam sehingga banyak yang menyebut guru di sana adalah guru tersibuk di dunia. Jepang memberikan anggaran pendidikan yang besar. Menurut Takumi Morise, budget untuk pendidikan sebesar 5,38 trilliun dialokasikan untuk guru, buku dan fasilitas lain. Tidak heran jika gaji di sana lumayan fantastik. Gaji guru SMA yang masih baru saja mencapai 468 juta/tahun. Artinya, take home pay mereka per bulan hampir 40 juta rupiah. Guru dengan masa kerja 20 tahun bisa membawa pulang gaji sebesar 1 M per tahunnya. Wah… bikin ngiler. Itu menunjukkan bahwa guru memang menjadi garda depan pendidikan di Jepang.
Ketika wabah Covid-19 ini melanda Jepang, kondisi sekolah dan kelas saat pandemi berubah. Jepang menutup sekolah-sekolah sejak 28 Februari 2020. Karena tidak semua sekolah siap dengan belajar online, sejak akhir Mei banyak sekolah sudah dibuka lagi. Online class hanya dijadikan pilihan.
Sekolah ini tentu saja harus mengikuti protokol yang ketat. Di antaranya membuka jendela, menggunakan masker, pengaturan tempat duduk (siswa menghadap ke arah yang sama), menggunakan suara pelan, mencuci tangan, dan memeriksa suhu. Selain itu, sekolah juga membuka layanan konselor untuk siswa. Guru menggunakan mikrofon selama mengajar agar suara terdengar jelas. Untungnya, banyak budaya Jepang yang menguntungkan di saat pandemi. Kebiasaan salam dengan membungkuk, menggunakan masker, jarang bersentuhan, hidup higienis untuk menyebut beberapa.
Dari dua paparan di atas, ternyata banyak kesamaan antara Indonesia dan Jepang dalam menghadapi pandemi. Seperti negara-negara lainnya, Jepang juga mengalami banyak kendala dalam menghadapi pandemi ini. Sistem pendidikan yang ada sekarang, menurut Morise banyak manfaatnya tapi masih perlu revisi dan perbaikan. Begitu juga dengan di Indonesia. Kurikulum yang disederhanakan contohnya.
Pandemi Covid-19 telah menjadi alarm pembangun bagi semua pihak. Sistem pembelajaran online harus diperhitungkan dengan tidak melupakan pendidikan karakter. Pendidikan karakter/akhlak/sikap tetap tidak bisa dilakukan dengan pendekatan online. Kedua pihak sama-sama mengakuinya.