Presentasi Prof. Muchlas Samani berjudul Menggagas Agile Education. Judulnya sih simpel tapi isinya….heeeem…. ilmu semua.
Menurut Guru Besar UNESA ini, gelombang pandemi Covid-19 ini merupakan ayat kauniyah Allah yang wajib dipelajari. Beliau mengajak para guru untuk melakukan refleksi diri.
Pendidikan yang dilakukan saat ini untuk menyiapkan anak di masa depan dilakukan oleh guru yang dididik di masa lalu. Di sini terjadi gap generasi. Sang guru dididik oleh masa lalu. Siswanya disiapkan untuk masa depan. Bagaimana mungkin guru dari masa lalu mendidik siswa masa depan?
Solusinya, guru harus “berkorban”. Artinya, guru harus meluangkan waktu untuk mencari ilmu dan menyampaikan ilmu yang benar-benar dibutuhkan siswa agar survive di masanya. Jadi, bukan sekadar ilmu.
Sebenarnya sudah banyak tokoh yang mengingatkan tentang hal ini. Salah satunya Ali bin Abi Tholib. Jauh-jauh hari, ia sudah mengingatkan untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya karena mereka tidak hidup di zaman kita. Senada dengan hal ini, Khalil Gibran pernah menyitir dalam salah satu sajaknya, Anakmu bukan Milikmu.
… berikan tempat pada raganya, tidak pada jiwanya
sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan tidak di dalam mimpimu
Perubahan adalah Keniscayaan
Dalam bukunya The Third Wave (1980), Alvin Toffler membagi peradaban manusia menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama dikenal dengan era agraris, gelombang ke dua era industri, dan gelombang ke tiga era informasi. Dalam perjalanannya, perpindahan dari satu era ke era yang lain mengalami percepatan yang luar biasa. Bahkan, teori terkini sudah mengantarkan kita pada gelombang ke lima.
Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Charles Darwin mengatakan, It’s not the strongest of the speciest that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to the change.
Bukan yang terkuat atau terpandai yang akan survive tetapi yang paling responsif terhadap perubahan itulah yang akan survive.
So, yang sukses adalah yang lincah beradaptasi, memanfaatkan perubahan atau men-drive perubahan itu. Nah, agile education menyiapkan anak yang lincah dalam perubahan yang serba cepat.
Teori Katak Rebus
Seorang filsuf Jerman bernama Friedrich Leopold Goltz melakukan percobaan terhadap dua ekor katak. Katak pertama dimasukkan ke dalam panci berisi air yang mendidih. Ia langsung melompat ke luar.
Katak yang lain dimasukkan ke dalam panci berisi air dingin. Kemudian dipanaskan sedikit sedikit katak pun merasa hangat. Temperatur dinaikkan lagi sang katak pun menyesuaikan diri dengan kondisi air yang panas. Hingga suatu ketika temperatur menjadi sangat panas. Katak tidak menyadari sampai akhirnya ia mati.
Ini bahayanya zona nyaman. Implikasinya bagi para guru adalah segera sadar bahwa kondisi di luar sudah berubah. Segera keluar dari zona nyaman kalau tidak ingin “mati” tergilas zaman. Sudah zamannya teknologi digital, ayo segera berbenah. Untunglah, Covid-19 ini sedikit banyak memaksa guru keluar dari zona nyaman.
Salah satu buku yang bisa dipakai sebagai panduan guru dalam menyiapkan siswa di masa depannya adalah 21st Century Learning yang ditulis oleh Bernie Trilling dan Charles Fadel. Buku terbitan 2009 ini mampu memotret seperti apa kehidupan di 20 tahun mendatang, skill apa yang dibutuhkan siswa, pembelajaran macam apa yang harus dilakukan oleh guru di masa depan. Perubahan terjadi sedemikian cepatnya.
Agile Education menyiapkan anak yang lincah dalam perubahan yang serba cepat. Mengubah competence based menjadi capacity based.
Pertanyaannya, seperti apa pendidikan yang agile itu dan bagaimana proses pembelajarannya? Menjawab pertanyaan ini Prof. Muchlas menawarkan konsep Heutagogy yang merupakan perkawinan antara pedagogy dan andragogy.
Heutagogy
Istilah heutagogy diciptakan oleh Stewart Hase dan Chris Kenyon dari Southern Cross University di Australia. Prinsip ini disebut juga dengan Self-determined Learning. Bahasa gampangnya, siswa yang menentukan pembelajaran untuk dirinya sendiri. Fungsi guru pun berubah bukan sebagai pengajar tetapi sebagai konsultan. Jadi, ketergantungan siswa ke guru semakin berkurang karena mereka mampu belajar mandiri. Proses pembelajarannya lebih menekankan pada Project-Based Learning.
Beberapa prinsip dasar Self-determined Learning adalah:
- Siswa memilih mata pelajaran sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memupuk potensi sehingga sejak awal kenal berbagai profesi
- Learning by doing. Belajar dari multi sumber karena pengalaman itu guru terbaik.
- Authentic-contextual based
- Mengutamakan proses dibanding hasil. Gagal itu sukses yg tertunda sebab gagal itu juga bagian dari pelajaran
- Bersifat holistik-integratif yaitu gabungan itu lebih besar dari jumlah dari bagian-bagian.
- Creative problem solving menjadi incaran. Inilah puncak life skills.
Agile education versi Al Hikmah menekankan pada pembelajaran yang holistik—kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan menempatkan akhlaq sebagai inti dari semuanya.
Sistem pembelajaran yang bisa menjadi alternatif adalah:
- Bagian teori dapat dipelajari online/hybrid dengan multi sumber
- Bagian prosedural berisiko dipelajari tatap muka
- Pembiasaan dipelajari tatap muka
- Secara holistik dipelajari dalam authentic project based.
Prof. Muchlas menutup paparannya dengan mengutip apa yang diungkapkan oleh K.H. Abdul Aziz Manshur tentang Mbah Manab (K.H. Abdul Karim)—pendiri pondok pesantren Lirboyo.
Mbah Manab niku mboten wani-wani turu nek dereng dungakno santrine. (Mbah Manab itu tidak berani tidur sebelum mendoakan santrinya).
#makjleb
Surabaya, 16 Juli 2020
